Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) telah memutus uji materi pasal 4 ayat 3 Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta uji materi pasal 60 huruf j PKPU nomor 26 tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan Anggota DPD pada Kamis (13/9/2018) lalu.
DR. Hufron, SH. MH. pakar hukum tata negara mengatakan, perlu untuk melihat filosofi dibentuknya PKPU hingga akhirnya membuat mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi dapat turut memeriahkan pesta demokrasi.
Dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu pada pada pasal 169 yang mengatur Persyaratan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden pada poin (d), berbunyi “tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.”
Namun pada Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota pada pasal 240 b, berbunyi “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Dari hal itu, Hufron menilai diskriminasi oleh KPU atau dipandang tidak adil sehingga lahirlah PKPU nomor 20 dan 26 tahun 2018 tersebut.
“Karena dengan adanya PKPU tersebut nantinya akan terselenggara pemilu yang berintegritas, berkeadaban, dan bermartabat,” ungkapnya pada Radio Suara Surabaya, Kamis (27/9/2018).
Namun Hufron menilai, PKPU mestinya mengeluarkan peraturan baru yang memuat peraturan lebih lanjut ketentuan yang diatur atau dimuat dalam UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017.
“Jadi memuat mekanisme menyatakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa dia merupakan mantan terpidana,” ungkapnya.
Dalam PKPU memuat mekanisme mantan terpidana meminta kepada salah satu media lokal bahwa dirinya akan membuat pernyataan di media lokal tersebut. Dari bukti guntingan pernyataan di media itu, bersama surat permohonan kepada pemimpin redaksi media lokal itu, kemudian dimasukkan sebagai salah satu persyaratan.
“Pertanyaannya, berapa kali harus dipublikasi di media tersebut? Berapakah ukuran muatan pernyataan di media dan di mana pernyataan tersebut diletakkan? Pemilihan media publikasi juga harus selektif agar maksud pernyataan tersebut kepada publik bisa benar-benar tercapai,” paparnya.
Jika yang ditakutkan dengan penerapan mekanisme ini nantinya akan memunculkan review dan gugatan balik karena melanggar hak asasi, Hufron menyampaikan mestinya hal tersebut tidak akan mungkin terjadi.
“Berarti masyarakat sendiri ternyata tidak pro memilih pemimpin yang bersih dan baik dalam konteks pemimpin nasional di legislatif, eksekutif, maupun yudisial,” tegasnya.
Selain itu, melalui Judicial Review dari sisi MK dan MA harus lebih menampilkan sebuah keputusan yang lebih pro terhadap pemerintahan yang bersih sebagai corong dari Undang-undang.
“Dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga kitab hukum yang baik demi masyarakat bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) harus dikedepankan,” jelasnya.
Masyarakat diimbau kritis dan cerdas sebagai pemegang kuasa daulat itu dalam menentukan suara.
“Kalau sampai hal seperti itu kita anggap biasa, berarti kita harus cek kesehatan politik kita,” katanya.
Sementara untuk memberikan kemudahan pada masyarakat mengenai informasi caleg, Hufron menyampaikan, selain tanda yang dibuat di TPS, KPU sebagai pemilik data caleg bisa menyediakan laman khusus untuk menjabarkan informasi mengenai caleg pada sebuah laman khusus.
Ia juga menambahkan, bahwa mekanisme yang dibuat terperinci seperti itu tidak akan dianggap mempermalukan atau bermaksud membuka aib karena jika membuat PKPU tapi tidak secara teknis menjelaskan rinci, maka maksud baik dari membentuk UU agar masyarakat tahu menjadi tidak terpenuhi.
“Jangan sampai memilih kucing dalam karung. Kita tidak akan memilih orang yang kita sudah tahu tidak punya kapasitas. Terlalu riskan,” pungkasnya. (nin/ipg)