Sabtu, 23 November 2024

Permintaan Presiden Terhadap TNI/Polri Jelaskan Capaian Kerja Pemerintah Ancam Netralitas

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Presiden usai memberikan pengarahan kepada siswa Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia (Sesko TNI) dan peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Sespim Polri) tahun 2018 di Istana Negara, Kamis (23/8/2018). Foto: Setpres

Permintaan Joko Widodo Presiden kepada anggota TNI dan Polri, untuk menjelaskan capaian kinerja pemerintah kepada masyarakat, dikritik keras oleh Fadli Zon Wakil Ketua DPR RI.

Kata Fadli, selain melanggar UU yang mengatur tugas pokok TNI dan Polri, permintaan Jokowi sangat potensial menarik kembali TNI/Polri masuk ke dalam pusaran politik praktis.

Sebelumnya permintaan Jokowi tersebut, disampaikan dalam sambutan kepada Siswa Sesko TNI dan Peserta Sespimti Polri di Istana Negara.

Fadli menegaskan sikap Presiden tersebut buruk bagi demokrasi dan merugikan TNI/Polri.

“Permintaan Presiden di depan anggota TNI/Pori untuk mensosialisasikan kinerja pemerintah, jelas pernyataan yang sangat berbahaya. Sangat politis. Tidak proporsional. Seharusnya Presiden sensitif, pernyataannya tersebut tidak hanya akan menciderai proses pemilu, tapi bisa merobohkan demokrasi,” ujar Fadli dalam pesan singkatnya, Jumat (24/8/2018).

Menurut dia, ada dua alasan mendasar yang perlu digarisbawahi. Pertama, permintaan Presiden tersebut bertentangan dengan UU TNI/Polri. Di dalam UU TNI No. 34/2004, Pasal 39 Ayat 2, menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis”. Sementara UU Polri Nomor 2/2002, Pasal 28 Ayat 1, menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis”.

Larangan ini juga dipertegas kembali dalam pasal 67 PKPU No.23 tahun 2018, tentang Kampanye Pemilihan Umum.TNI dan Polri dilarang melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu.

“Jadi, regulasi yang menjaga netralitas TNI/Polri, sudah sangat kuat,” jelasnya.

Menurut Fadli, selain dilarang UU, yang juga penting untuk dicatat adalah mensosialisasikan kinerja pemerintah, jelas bukan bagian tugas TNI/Polri. Anggota TNI/Polri tidak dipersiapkan khusus menjalankan tugas tersebut. Menurut UU, tugas pokok TNI ada tiga, yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan.

Dalam pelaksanaannya memang dimungkinkan bagi TNI menjalankan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Pertanyaannya, apakah mensosialisasikan keberhasilan pemerintah bagian dari OMSP? Jawabannya, sudah pasti bukan!”

Begitupun di dalam UU Polri No.2 Tahun 2002 pasal 13. Tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Alasan kedua, kata Fadli, permintaan Presiden kepada anggota TNI/Polri jelas sangat politis. Sebab, yang menyampaikannya adalah Presiden yang pada saat bersamaan juga berstatus sebagai bakal calon presiden. Semestinya, Presiden harus semakin menegaskan jaminan netralitas TNI dan POLRI di tahun pemilu ini. Bukan justru menarik-narik TNI/Polri ke politik praktis.

“Ini sama saja mengajak anggota TNI/Polri menjadi tidak profesional,” tegasnya.

Karena itu, Fadli meminta semua pihak, termasuk Jokowi Presiden yang sedang berstatus sebagai bakal calon presiden, untuk berhati-hati.

“Jangan menarik TNI/Polri kembali dalam politik praktis,” ujarnya.

Dia menjelaskan, TNI/Polri harus tetap menjaga netralitasnya. Sebab politik TNI dan Polri adalah politik kebangsaan. Politik yang berpihak kepada kepentingan bangsa dan negara. Bukan politik kepada orang-perorang, apalagi kepada bakal calon presiden. Presiden harus meralat pernyataannya dan TNI/Polri harus tetap netral dalam pemilu dan pilpres.(faz/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
34o
Kurs