Wiranto Menkopolhukam berkunjung dan bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Ketua Umum Partai Demokrat di rumahnya, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (18/4/2018).
Dalam pertemuan tersebut, Wiranto mengakui membahas masalah keamanan nasional dan politik.
Menanggapi hal tersebut Profesor Siti Zuhro Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai kalau kedatangan Wiranto kapasitasnya tidak jelas, sebagai Menkopolhukam atau elit Partai.
“Pak Wiranto bertemu dengan partai-partai apakah beliau sebagai menkopolhukam atau sebagai elit partai itu harus jelas. Kalau beliau sebagai elit partai, kan dia tidak menjabat sebagai ketua umum, karena ketua umumnya bukan dia,” ujar Siti di Jakarta, Jumat (20/4/2018)
Kalau sebagai Menkopolhukam, kata Siti, tupoksi juga harus dijelaskan. Tupoksinya antara lain adalah melakukan koordinasi terhadap kementerian dan lembaga yang ada di bawah koordinasinya dan mendorong, mensinkronkan dan sebagainya.
Jadi, menurut dia, tidak ada kosakata yang secara eksplisit mengatakan bahwa apa yang dilakukan Wiranto seperti yang dilakukan Kemendagri jaman Orde Baru yaitu melakukan pembinaan terhadap partai-partai politik.
Dia melihat, kedatangan Wiranto ke kediaman SBY adalah bentuk-bentuk komunikasi politik.
“Ini bukan pembinaan, tetapi komunikasi-komunikasi politik, pertemuan-pertemuan politik. Ini kan politik praktis.Untuk siapa? Untuk negara bangsa? Atau untuk Pemilu? Orang per orang?” kata Siti bertanya-tanya.
Siti menegaskan, kunjungan itu harus dievaluasi secara kritis dan harus disorot secara kritis karena demokrasi senantiasa memberikan kejelasan, siapa melakukan apa, institusi apa, berfungsi apa.
“Kalau campur bawur, itu membingungkan, dan apa yang akhirnya apa yang terjadi, kompetisi tidak pernah henti,” tegasnya.
Jadi, Siti menilai, demokrasi Indonesia saat ini adalah demokrasi yang senantiasa kampanye dalam pemilu terus, ini yang tidak bagus.
“Nah ini yang nggak bagus, ada pemilu, ada selesai Pemilu berarti fokus. Kata pak Jokowi adalah kerja, kerja, kerja. Jadi bukan melakukan mungkin komunikasi politik yang itu sebetulnya berkaitan dengan partai-partai politik,” jelasnya.
Jadi, alangkah baiknya, kata dia, peran Wiranto tersebut diberikan kepada kementerian atau lembaga melakukan fungsinya secara profesional, institusional dan formal.
“Berikan pembelajaran demokrasi dan politik kepada rakyat itu dengan baik dan transparan, jadi bukan aji mumpung,” jelas Siti.
Dia menjelaskan bahwa kekuasaan itu ada limitasinya, ada batasannya sehingga legacy (warisan) dari satu pemerintahan itu adalah legacy yang positif, sehingga tidak ada kekecewaan ketika ada estafeta (pergantian).
Sebelumnya, Wiranto Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Ketua Umum Partai Demokrat di kediaman SBY, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam pertemuan empat mata yang digelar tertutup itu, Wiranto mengakui membahas masalah politik dan keamanan nasional.
“Pak SBY itu kan, pertama, beliau mantan presiden, perlu kita dengarkan pendapatnya masalah-masalah politik nasional, kondisinya gimana, dan bagaimana kira-kira ke depan antisipasi beliau,” ujar Wiranto di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Rabu (18/4/2018).
Selain itu, Wiranto juga membincangkan persoalan keamanan nasional dengan SBY. Sebab, keduanya berasal dari ABRI atau kini TNI. Karena itu, Wiranto mengaku mendengarkan pandangan SBY terkait persoalan keamanan nasional saat ini.(faz/tna/dwi)