Mendekati masa-masa Pemilu, sorotan banyak pihak termasuk partai-partai politik terhadap lawan politiknya semakin tajam. Tidak terkecuali terhadap Joko Widodo (Jokowi) Presiden sebagai petahana.
Jokowi pun pernah dianggap melakukan kampanye terselubung dan memanfaatkan fasilitas negara dalam kunjungan-kunjungan kerjanya.
Titi Anggraini Mashudi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, aktifitas Jokowi sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memang kadang menjadi area abu-abu.
“Ya kalo aturan untuk membedakan mana yang sifatnya aktivitas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dengan aktivitas kampanye tentu sekarang kan menjadi area abu-abu karena belum ada pasangan calon,” ujar Titi di Jakarta, Sabtu (21/4/2018).
Tetapi, kata Titi, yang terpenting adalah di dalam proses kerja sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu sudah jelas rambu-rambunya. Jika Presiden bekerja berdasarkan kebijakan dan berdasarkan tugas dan fungsi yang melekat padanya.
Menurut dia, kalau Jokowi dalam kunjungan ke daerah, misalnya dianggap melakukan kampanye, sebenarnya bisa diidentifikasi.
“Kalau di dalam kunjungan ke daerah kemudian ada misalnya muatan-muatan kampanye atau penyalahgunaan fasilitas negara ataupun jabatan untuk kepentingan politik, itu kan nyata sangat bisa diidentifikasi perbedaannya,” jelas Titi.
Jadi, kata Titi, rambu-rambu yang dipegang adalah, apakah di dalam kunjungan ke daerah itu digunakan untuk kepentingan kepentingan di luar tupoksi sebagai seorang kepala pemerintahan atau presiden. Kalau misalnya itu di luar tupoksi dia (presiden) untuk kepentingan politik misalnya tujuan ke daerah tetapi malah mengkonsolidasi relawan, itu tidak tepat. Tapi kalau ke daerah memang yang dijalankan adalah tugas fungsinya sebagai seorang presiden atau peran sebagai seorang kepala pemerintahan, itu wajar.
“Dan memang disitulah kelebihan seorang Petahana. Petahana bisa berkampanye selama lima tahun dalam tanda kutip melalui kinerja, melalui tugas fungsi yang dijalankan sebagai seorang presiden,” tegasnya.
Kalau kemudian dalam sebuah kunjungan ada tas yang bertuliskan “Bantuan Presiden RI” yang kemudian dibagi-bagikan ke masyarakat, kata Titi, harus ditelusuri dana yang dipakai untuk bagi-bagi bantuan itu terprogram dari APBN atau tidak.
“Yang harus ditelusuri adalah apakah tas bantuan presiden tersebut memang terprogram? Jadi kalau memang terprogram di dalam anggaran belanja negara dan juga menjadi bagian dari program seorang kepala pemerintahan atau presiden ya bisa dilakukan. Tetap kalau itu di luar dari program, bukan dari uang negara, maka itu baru terjadi penyimpangan,” jelasnya.
Menurut Titi, agar tidak menjadi polemik, maka kebijakan Presiden sebaiknya tidak masuk wilayah abu-abu yang bisa memicu kontroversi.
Kalau memang ada keragu-raguan, sebaiknya kebijakan tersebut dihindari.
“Kebijaksanaan presiden yang memicu kontroversi atau bermain di ruang yang abu-abu dan ragu-ragu, mestinya presiden menghindari,” tegasnya.
Tetapi, kata dia, kalau memang program itu sudah terjadwal, diaanggarkan dan diagendakan, maka presiden memang harus menjalankan fungsinya. (faz/tna/dwi)