Senin, 25 November 2024

UU Penyiaran Direvisi, Negara Harus Diuntungkan dari Alokasi Frekuensi

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Mukhamad Misbakhun anggota Baleg DPR. Foto: Faiz suarasurabaya.net

Komisi I DPR yang membidangi media telah menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran ke Badan Legislasi (Baleg). Selanjutnya, Baleg akan melakukan harmonisasi atas RUU yang akan merevisi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran itu.‎

Menurut Mukhamad Misbakhun anggota Baleg DPR, ada dua hal penting yang disasar dalam proses revisi UU Penyiaran. Yakni penguatan demokrasi, serta mendongkrak penerimaan keuangan negara.

“Jadi semua pasti setuju ide Komisi I DPR untuk memperkuat demokrasi lewat RUU Penyiaran. Tapi jangan juga melupakan hak negara,” ujar Misbakhun di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (22/3/2017).

Politisi Partai Golkar yang duduk di Komisi XI DPR itu menegaskan, penerimaan negara dari sektor penyiaran dan frekuensi masih kurang signifikan. Untuk itu, revisi UU Penyiaran juga mesti membuka ruang bagi negara untuk menambah pemasukan.

“Kita ingin penguatan dari sisi penerimaan negara ini. Sebab, Saya melihat kecenderungannya makin menurun penerimaan dari sana,? katanya.

Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan itu menjelaskan, masalah penerimaan negara yang menurun menjadi perhatian sejumlah komisi di DPR. Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mengeluhkan makin turunnya penerimaan dari sektor penyiaran.

Misbakhun juga menyayangkan korporasi-korporasi media besar yang menguasai frekuensi dan mendapatkan privilege. Sebab, banyak media besar yang mengantongi frekuensi bisa meraup keuntungan triliunan rupiah per tahun namun kontribusi kepada negara menurun.

Hal itu diperparah juga dengan turunnya penerimaan dari layanan frekuensi seluler.

“RUU Penyiaran harus mampu menempatkan frekuensi penyiaran sebagai hak negara yang sebenar-benarnya,” tegasnya.

Sedangkan soal penguatan demokrasi, Misbakhun menyoroti praktik saat ini di industri penyiaran. Yakni penggunaan lembaga penyiaran untuk menggiring opini demi kepentingan pemilik modal.

“Kalau kita melihat bagaimana industri penyiaran saat ini, modal itu yang menjadi penentu. Modal bisa menggiring opini,” kata Misbakhun.

Karena itu, dia mewanti-wanti agar jangan sampai peran negara malah tersingkirkan oleh industri.

“Karena kalau sudah masuk ke industri akan masuk ke mekanisme pasar, akhirnya yang kuat pemodal,” tegasnya.

Sekedar diketahui, amandemen RUU Penyiaran masuk dalam Prolegnas RUU Prioritas 2017 yang sudah disepakati antara DPR dan Pemerintah. Sedangkan pengusul RUU Penyiaran adalah Komisi I DPR.(faz/dwi)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
33o
Kurs