Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden RI ke 6 seharusnya melaporkan kepada penegak hukum, dan bukan menggelar konferensi pers kalau merasa dirinya disadap. Karena itu, sebaiknya SBY menghentikan dramatisasi untuk kepentingan politik tersebut.
Hal ini disampaikan Masinton Pasaribu anggota Komisi III DPR menyikapi polemik isu penyadapan yang disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam merespon persidangan dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) Cagub DKI Jakarta.
“Kita hormati semua mantan Presiden RI dan juga menghormati para ulama termasuk KH. Maruf Amin, namun semua harus meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segala-galanya. Jangan tiba-tiba menyatakan merasa disadap. Tapi, kalau disadap laporkan langsung ke penegak hukum, dan bukannya menggelar konferensi pers,” ujar Masinton yang berasal dari fraksi PDI perjuangan ini anggota Komisi III DPR FPDIP dalam dialektika demokrasi yang mengangkat tema penyadapan bersama Syaifullah Tamliha anggota Komisi I DPR RI FPPP, dan Wawan Purwanto Direktur Inrformasi BIN di Gedung DPR RI , Senayan, Jakarta, Kamis (2/2/2017).
Kalau perasaan, kata Masinton, itu terkait masalah pribadi dan tidak perlu dibawa ke ranah publik.
“Bukan didramatisasi dan dipolitisasi. Seolah-olah dirinya didzolimi. Apalagi dalam persidangan itu tidak ada ucapan penyadapan. Tapi, Pak SBY tiba-tiba merasa disadap dan menyerang lembaga intelijen negara. Itu namanya politik baper (terbawa perasaan). Jadi, hentikanlah politisasi dan penyebaran fitnah itu. Bahwa bangsa ini butuh ketenangan sehingga jangan sampai “Menepuk air didulang terpercik muka sendiri,” ujar dia.
Sementara Syaifullah Tamliha menilai kalau persoalannya itu seolah-olah kuasa hukum Ahok mempunyai bukti, padahal yang berwenang melakukan penyadapan itu adalah KPK, BIN, BAIS, Kepolisian dan Kejaksaan.
“Sekarang ini siapapun bisa membeli alat penyadap. Termasuk pengusaha, pengacara dan sebagainya, tapi ini amatiran. Seperti bola liar, maka penyadapan ini perlu diatur oleh UU,” kata dia.
Dengan demikian,kata Tamliha, Jokowi Presiden bisa Disadap juga oleh asing dimana SBY pernah disadap oleh intelijen Australia. Untuk itu, lembaga sandi negara itu harus dioptimalkan untuk menangkal penyadap amatiran tersebut.
“Saya melihat politik makin gaduh. Sementara bangsa ini butuh ketenangan dan stabilitas di tengah ekonomi belum membaik, dan kegaduhan politik ini dicap sebagai kemunduran demokrasi,” kata Tamliha.
Wawan juga menegaskan jika bicara hukum itu bicara bukti-bukti. Soal penyadapan, baik KPK, Polri, Kejagung, BIN, BAIS, BNN maupun BNPT itu dibawah pengawasan dan harus sesuai dengan SOP (standar operasional prosedur) yang ketat. Itu harus dipertanggungjawabkan kepada presiden.
“Saya yakin kalau ada penyadapan, itu bukan dari lembaga negara,” kata dia.
Wawan menilai kalau kasus ini membingungkan, dimana SBY bilang ada komunikasi, tapi kata Kyai Haji Maruf Amin tidak ada. Wikileaks saja, kata Wawan, tidak pernah memberi keterangan otentik soal penyadapnya itu siapa.
“Wikileaks tidak pernah menjelaskan. Memang politik kita ini sensitif isu. Jadi, kita boleh tegang, namun tetap dalam kerangka NKRI,” kata dia. (faz/bid)