Penetapan Oesman Sapta Odang sebagai Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bersama Nono Sampono dan Darmayanti Lubis, masih belum diterima seluruh anggota DPD.
Sejumlah anggota yang menolak pergantian pimpinan menilai, proses pemilihan sampai pelantikannya melanggar aturan hukum.
Sebaliknya, mereka yang mendukung menyatakan, pimpinan baru DPD sah secara hukum, karena sudah dilantik Mahkamah Agung, Selasa (4/4/2017), di Ruang Paripurna DPD.
Menurut Khairul Fahmi Peneliti Pusat Kajian Konstitusi Universitas Andalas, pelantikan Pimpinan DPD yang dipandu Suwardi Wakil Ketua Mahkamah Agung, tidak sah.
Dia menilai, Mahkamah Agung sudah melakukan kekeliruan yang kemudian menyulut kisruh DPD.
Karena, dasar hukum pemilihan pimpinan DPD yang baru, yaitu Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang menyatakan masa jabatan Pimpinan DPD 2,5 tahun, sudah dibatalkan Mahkamah Agung.
Dengan pembatalan itu, maka peraturan yang berlaku adalah Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2014, yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD 5 tahun.
“Secara hukum (pelantikan) tidak sah. Karena aturan yang jadi dasar pemilihan pimpinan baru DPD dibatalkan dan berlaku surut. Makanya, apapun tindakan politik DPD di bawah kepemimpinan Oesman Sapta tidak sah secara hukum,” ujarnya kepada suarasurabaya.net, Sabtu (8/4/2017), di Jakarta.
Sebagai solusi persoalan itu, Fahmi meminta Mahkamah Agung menarik sumpahnya yang mengesahkan Oesman Sapta, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai Pimpinan DPD.
Sebelum sumpah itu ditarik, dia memprediksi konflik internal antara kubu yang pro dan kontra pimpinan baru DPD tidak akan selesai.
Seperti diketahui, penetapan Oesman Sapta sebagai Ketua DPD memicu kontroversi.
Selain karena prosesnya dinilai menerabas aturan, rangkap jabatan Oesman Sapta sebagai Ketua Umum Partai Hanura juga dikhawatirkan membuat DPD mengedepankan kepentingan politik. (rid/dwi/ipg)