Penyelesaian kasus-kasus terorisme tidak akan pernah selesai kalau hanya dengan narasi tunggal atau anggapan dari pihak-pihak tertentu saja dalam menuduh, menetapkan dan menindak seseorang atau kelompok sebagai teroris.
“Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa selama ini belum ada definisi apa itu yang disebut teroris, dan apa itu yang disebut dengan terorisme. Sehingga pihak-pihak tertentu kemudian bisa menjadi narasi tunggal untuk menuduh, menetapkan, bahkan menindak orang-orang tertentu yang menurut narasi mereka masuk dalam kelompok teroris,” ujar Muhammad Syafii Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Jakarta, Sabtu (14/1/2017).
Kata dia, perlu hati-hati dalam menyelesaikan pembahasan revisi Undang-Undang tindak pidana terorisme ini.
“Kita di pembahasan UU nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Kemudian menjadi sangat berhati-hati dalam menyelesaikan RUU ini,” kata dia.
Untuk itu, menurut Syafii, dalam revisi UU terorisme ini, DPR ingin tegas sebenarnya yang dimaksud teroris itu apa? Supaya tidak ada narasi tunggal menetapkan orang-orang tertentu sebagai teroris.
Dalam kasus Pemulangan (deportasi) 8 orang dari Malaysia karena ditemukan dalam telepon genggamnya ada gambar ISIS, menurut Syafii menjadi sangat naif dan menimbulkan narasi tunggal sebagai terduga teroris.
“Nah terhadap mereka yang dideportasi dari Malaysia, ini kan masih anggapan dari aparat keamanan Malaysia. Tapi kan kemudian sangat naif kalau kemudian deportasi ini melahirkan narasi bahwa mereka terduga teroris hanya karena di telepon genggam salah seorang mereka itu ada bendera ISIS,” ujar dia.
Syafii menegaskan dalam kasus ini, Malaysia sangat berlebihan dan sangat paranoid padahal mereka ini ingin belajar agama atau mau berobat dan sebagainya. Tapi kalau kemudian tidak dengan definisi yang jelas, maka kemudian bisa didefinisikan sebagai strategi pola pemahaman penyebaran teroris.
Dia minta kepada aparat Polri untuk tidak asal tembak saja terhadap terduga teroris, tapi harus dibawa ke persidangan.
“Saya kira perlu ada pembuktian secara hukum. Kita ingin mereka yang diduga teroris jangan dimatikan dulu, jangan ditembak kemudian buat narasi, tidak boleh itu. Persidangan orang tersebut harus terbuka karena teroris itu kan lebih berbahaya daripada kasus Jesica,” kata dia.
Sekadar diketahui, 8 orang yang dideportasi dari Malaysia tersebut sekarang sudah pulang ke Sumatra Barat dan Bengkulu. Polri menyatakan kalau mereka tidak terlibat terorisme, karena mereka benar-benar santri dan pembimbingnya yang berasal dari Pondok Pesantren Darul Hadis.(faz/iss/ipg)