Pansus Angket KPK mendatangi sebuah rumah di Blok Sawo RT 03, RW 03 kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Depok, Jawa Barat.
Agun Gunandjar Sudarsa Ketua Pansus Angket KPK (FPG) langsung memimpin didampingi wakilnya, masing-masing Masinton Pasaribu (FPDIP) dan Taufiqulhadi (FNasDem), serta beberapa anggota di antaranya Arteria Dahlan (FPDIP), Mukhamad Misbakhun (FPG), dan Edi Kusuma Wijaya (FPDIP).
Niko Panji Tirtayasa yang merupakan saksi yang pernah berada di “Rumah Sekap” tersebut juga ikut hadir.
Sebelum masuk ke “Rumah Sekap” tersebut, Niko bercerita kalau awal kedatangannya di rumah ini tidak mengerti apa-apa.
“Jadi, perlu saya jelaskan, di rumah ini saya tidak mengetahui ini rumah apa karena saya datang ke sini dalam keadaan tidak tahu apa-apa karena saya sebagai saksi masyarakat biasa dan tidak tahu duduk permasalahan yang terjadi,” kata Niko yang didampingi Pansus Angket KPK, Jumat (11/8/2017).
Niko yang menjadi saksi perkara Akil Mochtar mantan Ketua MK mengaku kalau dia jadi saksi karena diarahkan oleh Novel Baswedan penyidik KPK.
“Waktu itu kita cuma diarahkan oknum KPK, kita sebut saja, dan media pasti sudah tahu. Inisialnya NB atau Novel Baswedan. Tolonglah (Novel) muncul, jangan bilang dia sakit. Ke media dia bisa wawancara. Muncullah, kita duduk bersama-sama di Pansus,” ujar Niko dengan suara emosi ketika menyebut nama Novel.
Menurut Niko, gara-gara Novel, dia juga diperiksa Bareskrim Polri karena dituduh menyiram air keras ke Novel.
“Gara-gara beliau, saya diperiksa, katanya saya menyiram. Dalam hal ini, tolong Novel hadir dan pulang ke Indonesia. Berobatlah di Indonesia, duduk sama-sama, hadir di angket, kita bersihkan nama kita sama-sama. Saya tidak bilang institusi KPK, tapi di rumah inilah sebagai bukti keterlibatan Novel Baswedan mengarahkan saksi, dan sayapun harus mengarahkan saksi-saksi lain untuk bicara bohong dan tidak benar dalam persidangan maupun dalam berita acara pemeriksaan,” kata dia.
Niko mengaku dijadikan saksi palsu, tidak hanya untuk Akil Mochtar tetapi juga untuk tersangka lainnya.
“Untuk kasus Akil Mochtar, Muchtar Efendi, Rommy Herton, bapak Budi Antoni Al Djufri, dan pesanan terakhir untuk bapak bupati Banyuasin yang Anton Ferdian,” jelas dia.
Niko juga menceritakan kalau sekitar “Rumah Sekap” ini tidak seramai seperti sekarang. Dia menyebut rumah sekap, karena dia selalu dikawal dan para pengawal dari Polri juga tidak tahu dia sebagai saksi untuk kasus apa.
“Kenapa saya bilang sebagai rumah sekap, walaupun saya di dalam, ada pengawalan. Tapi pengawal ini tidak tahu, saya ini siapa, saksi apa. Dia tahunya hanya mengantar saya ke KPK dan pulang lagi ke sini. Dan sayapun dibatasi untuk berbicara dengan pihak pengawalan dari kepolisian,” kata Niko.
Dia membantah pernyataan Febri Diansyah yang mengatakan dirinya bisa bersosialisasi dengan masyarakat sekitar, padahal tidak.
“Febri bilang di media, bahwa saya bisa sosialisasi dengan masyarakat, silakan cek dengan masyarakat di sini. Saya bisa keluar kalau pihak KPK udah kabur. Itupun kebijakan dari pengawal. Silakan tanya pengawal-pengawal. Mereka sudah sama-sama diperiksa di Bareskrim. Mereka sudah kooperatif, silakan ditanya,” kata Niko.
Soal kegiatanya di “Rumah Sekap”, Niko mengatakan hanya diberi tulisan untuk mengatakan saat diperiksa di KPK. Kalau ada yang kurang akan diperdalam di bagian biro hukum di KPK.
“Kegiatan saya di sini dengan KPK itu hanya berupa tulisan, nanti saya harus bicara apa di berita acara pemeriksaan, barulah kita dijemput pagi-pagi sekitar jam 06.00 atau 04.30 WIB. Barulah nanti untuk memperdalam tulisan-tulisan dari penyidik ini nanti ke kantor biro hukum,” ujarnya.
Soal makan, Niko menegaskan kalau makanan selalu diantar oleh pihak KPK.
“Dulu di sini kita ada yang mengantar uang untuk makan. Jadi di rumah ini untuk makan itu di antar. Kalau benar kata Febri, saya bisa makan dan bisa keluar, tapi nyatanya dia tulis bon, kalau uangnya kurang nanti kembali minta. Kalau uang lebih ya repot,” kata dia.(faz/ipg)