Fahira Idris Wakil Ketua Komite III DPD RI menyarankan kalau kebijakan delapan jam belajar atau fullday school sebaiknya ditunda terlebih dulu. Tetapi penundaan ini bukan berarti kebijakan tersebut dibatalkan.
Hanya saja, kata dia, konsep itu harus dilakukan uji publik dan sosialiasi terlebih dahulu sebelum diberlakukan.
“Pemberlakuannya pun tak boleh disamaratakan bagi sekolah di seluruh Indonesia, karena kondisi, infrastruktur, sarana, dan prasarana sekolah serta kualitas guru berbeda-beda antara di kota dan desa,” tegas senator asal dapil Jakarta ini di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Rabu (21/6/2017).
Konsep fullday school ini, kata Fahira, belum dilakukan uji publik maupun sosialiasi, sehingga mendapat reaksi keras dari Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan polemik antara NU dan Muhammadiyah.
“Tapi, saya tidak ingin terlibat dalam polemik ini, karena yang penting tidak terjadi kegaduhan baru,” ujarnya.
Menurut Fahira, bicara pendidikan itu bukan hanya masalah jam dan hari, melainkan kesiapan sekolah terkait infrastruktur, kesiapan siswa, kualitas guru dan sebagainya.
“Sekolah 5 hari mungkin baru bisa diterapkan di kota-kota terlebih dahulu. Apalagi kita masih kekurangan guru di 371 kabupaten/kota,” ujar dia.
Fahira mengakui jika lama jam belajar di Indonesia termasuk sangat tinggi dibanding negara lain seperti Jepang, Korea, Malaysia dan lain-lain. Tapi, terbukti pendidikan mereka kualitasnya lebih baik.
“Jadi, nanti setelah Idul Fitri 1438 H, DPD akan memanggil Pak Menteri Muhadjir untuk meminta penjelasan sekolah 5 hari itu,” pungkasnya.(faz/dwi)