Sabtu, 23 November 2024

Ancaman Disintegrasi Bangsa Harus Dijawab dengan Penegakan Hukum

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI. Foto: Faiz/Dok. suarasurabaya.net

Munculnya kekhawatiran ancaman disintegrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akhir-akhir ini, karena ketegangan Pilkada DKI Jakarta, memang dirasakan semua. Karena itu, perlu penyegaran dalam berbangsa dan bernegara bahwa kita sejak ratusan tahun lalu sudah sepakat dengan Pancasila dan ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Tapi, kalau yang dikhawatirkan itu banyaknya aksi 411, 212, dan 112, ini sebenarnya untuk menegakkan NKRI.

“Bukan anti Bhinneka Tunggal Ika. Tinggal kasusnya diselesaikan dengan menegakkan hukum. Bukan saling teror dan apalagi mengancam antara satu dengan yang lain di tengah masyarakat,” ujar Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI dalam diskusi Empat Pilar MPR RI “Merawat Kebhinnekaan” bersama Yudi Latif, Arbi Sanit (UI) pengamat politik, dan Ichsanuddin Noorsy pakar ekonomi politik di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (13/2/2017).

Karena itu seluruh elemen bangsa ini khususnya eksekutif dan legislatif dari pusat sampai daerah harus melaksanakan empat pilar MPR RI. Bahwa ancaman itu bukan saja dengan adanya aksi-aksi tersebut, melainkan masih banyak ancaman separatis di beberapa daerah di Indonesia, yang harus diatasi oleh pemerintah.

“Termasuk kesenjangan ekonomi, pembangunan, pendidikan dan lain-lain. Dalam berdemokrasi ini kita diberi ruang untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan penyegaran,” ujar politisi PKS itu.

Sementara Yudi Latif menegaskan jika Pancasila dan kebhinnekaan ini sebagai modal sosial dasar bangsa Indonesia menghadapi globalisasi yang terguncang.

“Indonesia malah menjadi teladan dunia, Pancasila dianggap sebagai DNA-nya Indonesia bahwa bangsa Indonesia itu demokratis, beragam, eksotik, dan tolerans,” kata dia menirukan ungkapan dunia kepada Indonesia.

Menurut Yudi, saat ini banyak negara-negara modern gagal mengelola multikulturalisme. Amerika Serikat dan Eropa sebagai salah satu contoh, kini malah Donald Trump anti imigran dan imigran di Jerman harus mengikuti kebijakannya.

“Jadi, Indonesia ini menjadi mercusuar dunia. Dimana dengan keragaman ini sebagai takdir, sehingga kebhinekaan ini harus dirawat disamping mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat,” kata dia.

Arbi Sanit secara tegas kecewa dengan munculnya gerakan pemaksaan kehendak akhir-akhir ini.

“Kalau tidak tepat, agama itu bisa menjadi ancaman, yaitu islamisme yang memaksakan kehendak. Itu lebih gawat dari bahaya laten, karena akan memaksa orang keluar dari Indonesia. Itu akan terjadi kalau negara ini gagal mengatasi,” kata dia.

Kata Arbi, akibat demokrasi salah kaprah, yaitu demokrasi bebas multak. Padahal di Amerika saja dibatasi, tapi di Indonesia disalahgunakan.

“Jadi, Pancasila sebagai dasar negara ini sudah final, meski secara ideologi bisa dikembangkan,” kata dia.

Ichsanuddin Noorsy menyimpulkan bahwa negara ini belum pernah melaksanakan ekonomi secara konstitusional, khususnya pasal 23, 27, 31, 32, dan 34 UUD NRI 1945, apalagi Pembukaan UUD. Sudah terjebak dalam pasar bebas dunia yang gagal. Baik corporate capitalism maupun state capitalism, dan Indonesia mempunyai koperasi kapitalisme.

Karena itu kata Noorsy, harus direkonstruksi ulang, karena dalam merawat kemerdekaan selama ini sakit, dan kini tambah sakit. Apalagi kini menghadapi krisis keuangan, krisis pangan, dan krisis energi. Sehingga Indonesia belum pernah keluar dari gerbang krisis.

“Indikatornya, nilai tukar terus melemah,” kata Noorsy.

Dengan demikian menurut Noorsy, reformasi selama ini berbuah krisis konstitusi. Konskuensinya menimbulkan berbagai ketimpangan.

“Jadi, kita harus merekonstruksi dalam merawat kebhinekaan ini,” kata dia.(faz/iss/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs