Tantowi Yahya anggota komisi I DPR RI mengatakan, investasi dan pemberian hutang besar-besaran China ke banyak negara di Asia, Afrika dan Eropa akhir-akhir ini diyakini sebagai bagian dari rencana besar negeri tirai bambu tersebut untuk menjadikan negara-negara di 3 kawasan itu sebagai pasar, lapangan pekerjaan dan koloni.
“Disadari atau tidak, kita sudah merasakan itu. Neraca perdagangan mereka dengan kita selalu surplus, sementara posisi kita tidak pernah beranjak dari minus. Beragam persyaratan non tarif mereka terapkan di berbagai produk andalan kita dalam rangka menjaga neraca perdagangan yang pincang buat kita tersebut,” ujar Tantowi di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2016).
Sementara di sisi lain, kata dia, produk China melenggang bebas di Indonesia. Sudah bukan rahasia umum, Indonesia kebanjiran tenaga kerja tidak terampil untuk diperkerjakan di berbagai proyek yang dibiayai oleh China.
“Influx tenaga kerja dalam jumlah besar bisa berimplikasi pada keamanan negara. Siapa yang bisa menjamin, ditengah lemahnya sistem pengawasan kita, setelah selesainya proyek-proyek tersebut, mereka akan kembali ke negaranya?. Pernahkah kita berpikir sebagai unskilled worker, gaji/upah mereka logisnya tentu tidak besar pula. Lantas mengapa mereka mau meninggalkan negaranya jauh-jauh untuk upah yang kecil? Bahwa tujuan mereka kesini bukan semata untuk bekerja…bisa-bisa aja kan?,” ujar dia bertanya-tanya.
Menurut Tantowi, Kemarin dan hari ini Indonesia dihebohkan oleh berita, di dalam tiang-tiang pancang yang diimpor dari China untuk keperluan proyek-proyek mereka di Indonesia, disusupi narkoba dalam jumlah besar. Tidak pernah dibayangkan oleh BNN, bahwa bahan keperluan bangunan untuk proyek-proyek yang dibutuhkan Indonesia dijadikan carrier barang-barang terlarang.
“Bagaimana dampaknya di bidang lain? Tentu saja ada. Sebut aja Hubungan luar negeri. Kita merasakan betul kegalauan Pemerintah dalam bersikap kepada China terkait Putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang mengabulkan gugatan Filipina dan tidak memenangkan klaim China dalam sengketa Laut China Selatan,” kata Tantowi.
Dia menjelaskan, Indonesia memang sudah mengeluarkan pernyataan namun masyarakat menilai Indonesia terlalu soft (lembut). Sikap China yang ngotot tidak akan mematuhi putusan Pengadilan yang melandaskan putusannya pada Unclos 1982, konvensi hukum laut yang juga mereka tandatangani semestinya disikapi dengan lebih tegas namun tetap dalam tone (irama) yang tidak berpotensi merusak hubungan baik yang sudah terbina.
Klaim China tidak mempunyai dasar yang kuat. Wajar dan memang seharusnya PCA memenangkan gugatan Filipina. Sebagai salah satu negara yang mengikatkan diri pada konvensi tersebut, pemerintah Indonesia tentu memahaminya.
“Mengapa kita tidak bisa lebih tegas, tentu bisa pula kita pahami. Tidak ada makan siang gratis,” kata dia.(faz/rst)