Sekitar 70-an anggota DPD RI melalui Benny Rhamdany Wakil Ketua Komite I DPD RI (Sumatera Utara), Ahmad Mawardi (Jawa Timur), dan Abdul Aziz (Sumatera Selatan) menggulirkan mosi tidak percaya kepada kedua pimpinan DPD RI, yaitu Irman Gusman dan Farouk Muhammad. Mosi tidak percaya tersebut disampaikan kepada AM Fatwa Ketua Badan Kehormatan (BK) DPD RI.
“Mosi tidak percaya ini juga disampaikan pada paripurna DPD RI pada Senin (11/4/2016) kepada BK DPD RI. Sehingga secara resmi mosi tidak percaya itu akan ditindaklanjuti oleh BK DPD RI. Jadi, nasib kedua pimpinan DPD RI tersebut ada di tangan BK DPD RI,” kata Benny Rhamdany dan Abdul Aziz di Gedung DPD RI Jakarta, Senin (11/4/2016).
Sebelumnya Irman Gusman mengatakan Tatib jabatan pimpinan itu bertentangan dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD), dan tidak sesuai dengan siklus jabatan kepemimpinan lembaga negara yang lain. Tapi, kata Benny, untuk jabatan pimpinan itu tidak diatur oleh konstitusi, melainkan oleh Tatib DPD RI. “Jadi, tidak benar, kalau keputusan Pansus itu bertentangan dengan UU MD3,” kata dia.
Namun demikian kata Benny, kalau kemudian putusan itu akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), itu hak setiap orang. “Maka, silakan saja diuji ke MK. Bahwa dengan mosi tidak percaya itu, Irman Gusman dan Farouk Muhammad tidak bisa lagi memimpin paripurna DPD RI sampai masalahnya clear dengan anggota,” ujar dia.
Bagaimana rapat-rapat selanjutnya siapa yang akan memimpin? Menurut Abdul Aziz, rapat itu akan dipimpin oleh GKR Hemas Wakil Ketua DPD RI. “Kalau tidak ada pimpinan DPD RI, maka akan dipimpin secara triumpirat (Ketua BK, Ketua Komite I, dan pimpinan PUU DPD RI. Semua akan mekanismenya, dan kinerja DPD RI akan tetap berjalan,” ujar anggota DPD RI asal Sumatera Selatan itu.
Bahwa Pansus perubahan Tatib DPD RI telah menyelesaikan pekerjaannya kurang lebih selama 9 bulan (6 bulan masa kerja ditambah 3 bulan masa perpanjangan masa kerja dengan melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan, penyempurnaan terhadap 6 kluster yang terdiri dari fungsi legislasi, pengawasan, anggaran, representasi, alat kelengkapan dan sistem pendukung,yang secara substantif keseluruhannya dianggap final.
Kecuali dalam hal masa jabatan pimpinan alat kelengkapan DPD RI, yang tidak bisa diputuskan oleh Pansus tapi kemudian disepakati untuk dibawa ke paripurna DPD RI, pada 15 Januari 2016. Sehingga Pansus tersebut telah mengesahkan seluruh hasil Pansus perubahan Tatib DPD RI termasuk di dalamnya tentang masa jabatan pimpinan alat kelengkapan DPD RI, yaitu 2,5 tahun, yang secara khusus diputuskan melalui voting.
Karena itu Badan Kehormatan (BK) DPD RI telah beberapa kali mengirim surat dan memanggil pimpinan DPD RI dalam rapat pleno BK DPD RI untuk menandatangani hasil Pansus tersebut, tapi Irman Gusman dan Farouk Muhammad, ternyata keduanya bersikeras menolak menandatangani. Hanya GKR Hemas yang bersedia menandatangani.
Karena itulah kata Benny dan Abdul Aziz, penolakan penandatanganan itu sebagai bentuk pembangkangan dan perlawanan terhadap sidang paripurna sebagai forum pengambilan keputusan tertinggi lembaga DPD RI, sekaligus sebagai penistaan terhadap peraturan perundang-undangan khususnya No.17 tahun 2014 tentang MD3, UU No,12 tahun 2011 tentang P3, UU No.23 tahun 2014 tentang Pemda serta amar putusan MK No.92/PUU-X/2012 dan No.79/PUUU-XII/2014. Sehingga sikap pimpinan DPD RI tersebut jelas sebagai pelanggaran Kode Etik berat.
Dengan demikian menurut Benny dan Abdul Aziz, kedua pimpinan tersebut telah melakukan kebohongan publik, karena seolah-olah kerja Pansus DPD RI hanya membahas masa jabatan pimpinan DPD RI, dan menolak menandatangani hasil kerja Pansus tersebut. Padahal, kedua pimpinan DPD RI itu hadir dan memimpin paripurna DPD RI pada 15 Januari lalu itu.
Maka mencermati beberapa hal tersebut anggota DPD RI yang bertanda tangan ini menyimpukan bahwa pimpinan DPD RI tidak mampu menunjukkan sikap sebagai negarawan, yang layaknya ditunjukkan oleh pimpinan lembaga tinggi negara. Bahkan sikap pimpinan itu yang secara nyata melakukan pembangkangan dan perlawanan sekaligus penistaan baik terhadap keputusan sidang paripurna DPD, Tatib DPD RI, maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar keberadaan lembaga tinggi negara, adalah tindakan yang dapat dikategaorikan sebagai pelanggaran kode etik berat sebagaimana diatur dalam Tatib. Karena itu anggota DPD RI mengajukan mosi tidak percaya.
Sementara itu AM Fatwa menegaskan jika semua itu ada proses dan prosedurnya seusuai aturan perundang-undangan. Untuk itu, mosi tidak percaya anggota DPD RI tersebut masih akan dibahas secara internal, apakah memang ada pelanggaran atau tidak.
“BK DPD akan rapat dulu membahas mosi tidak percaya anggota itu, untuk kemudian mengambil keputusan. Kalau saat ini ya belum, karena BK DPD belum membahasnya,” kata mantan politisi PAN itu.(faz/dwi)