Sabtu, 23 November 2024

Polemik Reklamasi Akibat Tumpang Tindih Produk Hukum

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Dialektika demokrasi "Polemik Reklamasi Jakarta" di DPR RI Jakarta, Kamis (21/4/2016). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Viva Yoga Mauladi Wakil Ketua Komisi IV DPR RI menegaskan, polemik reklamasi pantai utara Teluk Jakarta selama ini akibat terjadinya tumpang-tindih produk hukum.

Padahal, menurutnya, produk hukum itu sudah ada sejak tahun 2003 sampai 2011 berikut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)-nya yang juga muncul beberapa produk hukum yang berbeda, dan juga tata ruang tentang perlindungan lingkungan hidup dan kelautan.

“Bahwa Jakarta sebagai kawasan strategis nasional khususnya Jabodetabek, Puncak, dan Cianjur Jawa Barat itu menjadi kewenangan pemerintah pusat dan beberapa reklamasi pulau diantara 17 pulau reklamasi itu tidak merujuk kepada UU. Sehingga ada persoalan hukum, maka rapat Komisi IV DPR dengan Siti Nurbaya Menteri LHK sepakat untuk menghentikan sementara reklamasi itu,” ujarnya di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (21/4/2016).

Politisi PAN itu menjadi salah satu pembicara dalam dialektika demokrasi “Polemik Reklamasi Jakarta” bersama Enny Sri Hartati pengamat ekonomi Indef, dan Rizal Damanik dari Koalisi Rakyat untuk Perikanan (KIARA) di lokasi dan tempat yang sama.

Viva mengatakan, kalau pada akhirnya terbit UU yang baru maka tidak akan terjadi tumpang-tindih aturan perundang-undangan tersebut. Mengingat letak Jakarta strategis nasional, maka kewenangan ada pada pusat dan Amdal sebagai salah satu instrument kelestarian lingkungan.

“Jadi, secara yuriduis tak ada tumpang-tindih, maka dihentikan sementara, karena belum ada surat tertulis dari pemerintah pusat. DPR meminta pemerintah pusat secepatnya mengeluarkan surat keputusan untuk reklamasi tersebut,” ujar dia.

Kalau tidak segera ada ketegasan dari pemerintah, kata Viva, sebanyak 17.000 kepala keluarga (KK) akan menjadi manusia perahu. “Jadi, negara harus hadir. Apalagi sudah ada 40 reklamasi. Perlu dikaji apakah reklamasi itu berdampak positif atau negatif untuk rakyat Teluk Jakarta? Jangan sampai reklamasi itu membangun pulau baru. Ini menjadi bagian dari tanggung jawab negara, dan negara harus koordinasi dengan Pemprov DKI dan Pemda sekitarnya,” kata Viva.

Rizal Damanik menilai Teluk Jakarta merupakan miniatur Indonesia sekaligus sebagai simbol keberagaman dan kekayaan Indonesia, yang secara ekologis mengalami penurunan kualitas lingkungan.

“Ada upaya untuk perbaikan pantai Jakarta agar lebih indah, sehingga membangun Teluk Jakarta sebagai upaya rehabilitasi. Tapi faktanya terjadi prgeseran-pergeseran untuk komersialiasi di 17 pulau reklamasi tersebut,” ujarnya.

Dokumen terbaru pembangunan itu, misalnya, justru sangat dianjurkan menggunakan material Teluk Jakarta. Faktanya, kata Rizal, material itu diambil dari Banten dan daerah lain yang tidak bisa dibuktikan dari mana, yang pertahunnya dibutuhkan 40 ton metrik. Secara total, material yang diambil dari daerah lain untuk 17 pulau itu sebanyak 300 juta metrik kubik pasir.

“Itu jelas akan merusak lingkungan. Atau sebanyak 876 juta metrik ton kubik yang juga tidak cukup kalau hanya mengandalkan dari Banten,” kata dia.

Menurut Rizal, semangat komersialiasi sudah menabrak keselamatan lingkungan. Padahal, implikasinya akan berpengaruh pada arus Teluk Jakarta, yaitu perusakan, abrasi, terkikisnya pulau-pulau di bagian Barat Jakarta dan sebagainya.

“Kalau semangatnya untuk menghentikan Teluk Jakarta dari ancaman abrasi, maka komersialiasi reklamasi itu salah dan harus dihentikan. Apalagi diprediksi pada tahun 2100 sebanyak 1325 hektar daerah itu akan mengalami penurunan tanah, dan 31.257 ribu hektar akan tergenang akibat kenaikan air laut,” ujar dia.

Pemerintah, menurutnya, sudah mengetahui konsekuensi ini sejak awal. Akan tetapi tidak ada antisipasi dengan Amdal dalam hal dampak terhadap perekonomian rakyat Teluk Jakarta dan kelestarian lingkungan sekitarnya. “Jadi, seluruh reklamasi itu harus berhenti kalau tidak mau melawan hukum, dan itu sudah ada di RPJM 2015-2019,” kata Rizal.

Enny Sri Hartati menegaskan, seolah-olah yang menjadi perdebatan adalah aspek ekonomi dengan reklamasi itu akan mempunyai nilai ekonomi Teluk Jakarta. Padahal, semuanya bisa dihitung. Membangun ekonomi itu harus secara berkelenjutan (sustainable) dengan tidak menafikan sumber daya di sekitarnya maupun kontraproduktif pada sumber daya yang ada.

“Bahwa apa benar dengan reklamasi itu Jakarta, itu akan mempunyai nilai ekonomi lebih dibanding dengan kota yang lain.” kata dia. Menurutnya, reklamasi itu terlalu dipaksakan. Sama halnya dengan penimbunan pulau-pulau tanpa konsep yang matang, sehingga Jakarta trancam tenggelam. Juga, mengapa hanya soal property?

“Pertimbangan instan dengan pembangunan properti itu menjadikan pemerintah tidak perlu investasi, karena akan laris manis dengan harga yang sangat mahal. Padahal, reklamasi itu idealnya untuk mengembalikan fungsi pantai sesuai ekosistem sumber daya lingkungan laut. Tapi, kalau mengganggu ekosistem, maka akan merugikan perekonomian itu sendiri,” ujarnya.

Dia mengatakan, tugas negara adalah membangun untuk semua. Maka pembangunan itu harus terintegrasi antara ekosistem lingkungan, Amdal, sumber daya, dan hukum. Tapi, saat ini yang diperlukan adalah kepastian hukum. “Bukan saja moratoriaum yang tidak berarti apa-apa bagi pihak-pihak yang berkepentingan,” kata Enny. (faz/den/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs