Arief Budiman Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, lembaga survei yang melakukan penelitian soal pemilu atau pemilukada di seluruh Indonesia, harus menjaga objektifitas.
Jangan sampai data hasil penelitian yang dirilis itu berdasarkan keberpihakan terhadap calon tertentu, sehingga menggiring opini publik.
“Kami harus pastikan lembaga survei itu terdaftar di KPU, dan berbadan hukum, alamat kantornya jelas, sumber pendanaan dan metodologi yang digunakan jelas, kemudian harus menjaga perlakuan yang setara ketika lakukan survei, serta tidak berpihak,” ujarnya di Jakarta, Sabtu (8/10/2016).
Arief berharap, masyarakat bisa memahami peran lembaga survei sebagai partisipasi politik untuk memberikan informasi faktual dari para calon pemimpin yang ikut pemilu/pemilukada.
“Sehingga masyarakat bisa tahu kandidat yang tersedia seperti apa, dan diharapkan meningkatkan partisipasi publik,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Nasrullah anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai, keberadaan lembaga survei sebetulnya bentuk dari keikutsertaan masyarakat.
“Tapi, jangan sampai ada lembaga survei yang diragukan kredibilitas dan integritasnya,” ucapnya.
Lembaga survei yang ada sekarang ini, lanjut Nasrullah, mencoba menyampaikan informasi kepada masyarakat yang menurut Bawaslu masih dalam tataran objektif.
“Tidak mungkin lembaga survei yang kompeten tidak didasari pendekatan dan metodologi yang akurat, semisal jelas populasinya, sasarannya,” imbuhnya.
Kalau ada lembaga survei yang disinyalir tidak kompeten, Bawaslu mengimbau agar asosiasi lembaga survei mengumumkan kepada publik.
“Bawaslu tidak bisa melarang, tapi sebatas merekomendasikan agar lembaga-lembaga survei yang ada diaudit, kemudian disampaikan secara terbuka,” seru Nasrullah.
Sementara itu, Adjie Alfaraby peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menyatakan kurang berkenan kalau lembaga survei dinilai sebagai lembaga yang menggiring opini publik.
“Karena data yang kami umumkan adalah hasil penelitian yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis,” tegasnya.
Berdasarkan pengalaman, data yang dirilis lembaga surveinya bisa berbeda penyajiannya kepada publik, tergantung media massa yang menggunakannya.
“Jadi, semua yang terlibat baik peserta pilkada, media dan publik harusnya bisa memahami survei, sehingga bijak dalam merespon hasil penelitian,” pungkasnya. (rid/iss/fik)