Setelah mendapat nilai baik dalam survei yang dilakukan oleh Kompas dan CSIS, Agus Hermanto Wakil Ketua DPR RI mengatakan pihaknya akan terus melakukan peningkatan dan perbaikan kinerja DPR RI ke depan. Sebab, DPR RI kali ini lebih konsentrasi untuk bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) untuk membuat legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Setidaknya sudah ada 10 UU yang disahkan, pimpinan DPR RI dan pimpinan fraksi-fraksi sepakat untuk meniadakan kunjungan atau studi banding ke luar negeri. Kecuali, BKSAP dan Komisi I DPR RI yang tugasnya memang harus ke luar negeri sesuai bidangnya,” ujar penasihat Partai Demokrat itu dalam dialektika demokrasi dengan tema “Citra dan Kinerja DPR yang Membaik” bersama Muhammad Syafii anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Professor Siti Zuhro peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Rachmat Bagdja pakar hukum tata negara Universitas Al-Azhar, di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Agus Hermanto mengakui jika pada tahun-tahun pertama DPR RI periode ini masih diwarnai dengan ketegangan politik internal, sehingga belum bisa fokus untuk menjalankan tugasnya untuk rakyat. Tapi, dalam setahun terakhir ini sudah membaik, meski Demokrat tetap bukan sebagai oposisi maupun pendukung pemerintah. Namun, Demokrat tetap kritis jika kebijakan DPR dan pemeirntah tidak berpihak untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Selain itu kata Agus, jika ada anggota DPR RI yang tertangkap KPK, itu juga fakta, yang justru harus menjadi pelajaran bagi DPR RI untuk terus meningkatkan kinerja dan keperpihakannya kepada rakyat, bangsa, dan negara.
“Kalau citra dan kinerja DPR membaik bermula dari MKD yang menyidangkan kasus dugaan permintaan saham PT. Freeport yang melibatkan Setya Novanto mantan Ketua DPR RI dan pejabat pemerintah lainnya itu, lalu surveinya baik, ya Alhamdulillah,” kata SyafiI singkat.
Sementara menurut Siti Zuhro, system demokrasi itu harus mewujudkan check and balances antara DPR RI dan pemerintah. Karena itu dia meminta DPR RI tidak terkesima dengan hasil survei yang dilakukan Kompas maupun CSIS tersebut, dengan terus melakukan perbaikan dan reformasi DPR dengan serius.
Sehingga yang harus dikedepankan kata Siti, adalah formula perbaikan itu agar nilai DPR RI tidak berhenti di angka 6, tapi bagaimana bisa mencapai angka 8. Untuk itu harus didukung dengan system (supporting system), menghadirkan ikon baru lembaga parlemen (reward and punishment)
“Jangan sampai kalau DPR kena kasus KPK dihabisi, tapi kalau baik malah dibiarkan,” ujar dia.
Bahwa DPR RI ini showroom (rumah rakyat) bagi demokrasi, sehingga seluruh perilakunya akan mendapat sorotan rakyat. Untuk itu parpol yang cerdas akan merekrut kader-kader yang handal untuk dikirim ke DPR RI. Hal itu mengingat DPR RI ini bukan tempat belajar, sehingga parpol harus cerdas.
Oleh sebab itu, penguatan system itu bukan saja untuk DPR RI, melainkan parpol dan masyarakat (civil society), karena kasus Nivanto mundur dari Ketua DPR RI itu, diantaranya akibat desakan rakyat.
“Itu menunjukkan bahwa rakyat punya kekuatan di luar parlemen,” kata dia.
MKD menurut Siti Zuhro, juga sebagai lembaga internal baru di DPR RI yang bisa mendongkrak citra DPR RI, dengan “mengadili” anggotanya yang dinilai telah melakukan pelanggaran etika, moral, maupun politik.
“Hanya saja MKD juga harus konsisten,” kata dia.
Rachmat Bagdja mengkritisi kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh DPR RI terhadap pemerintah. Ia mencontohkan pemotongan anggaran (APBN) yang tiba-tiba dipangkas oleh Sri Mulyani Menkeu, tanpa meminta persetujuan DPR RI. Padahal, pengawasan itu penting, agar pemerintah tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran.
“Sekarang ini pemerintah sudah banyak melakukan pelanggaran (out side), seperti pemotongan anggaran dengan menerbitkan Inpres, pengangkatan Archandra Tahar sebagai Menteri ESDM, dan lain-lain. Jadi, pengawasan DPR RI yang lemah kepada pemerintah ini tidak disorot oleh CSIS,” ujar Badgja.(faz/rst)