Usul pengetatan syarat calon perseorangan dalam Pilkada mengemuka dari sejumlah legislator DPR dalam rangka revisi Undang-Undang (UU) tentang Pilkada. Angka yang sempat muncul syarat perseorangan naik menjadi 15-20 persen dari jumlah pemilih, dengan alasan menyamakan dengan syarat dukungan calon dari partai politik.
Farouk Muhammad Wakil Ketua DPD RI menilai usul tersebut tidak tepat dan tidak sejalan dengan semangat hadirnya calon perseorangan, yakni sebagai upaya untuk menghadirkan demokrasi yang lebih deliberatif dalam tahap pencalonan kepala daerah.
“Jalur calon perseorangan dilegitimasi secara konstitusional untuk memberi ruang bagi putra daerah yang mungkin tidak ingin mencalonkan atau terkendala pencalonannya lewat partai politik. Semangatnya selain sebagai pemenuhan hak konstitusional setiap warga untuk dipilih, agar rakyat punya lebih banyak alternatif pilihan calon kepala daerah yang berkualitas,” kata Farouk di Jakarta, Jumat (25/3/2016).
Pengetatan syarat yang demikian tinggi menyebabkan hilangnya ruh konstitusionalitas calon perseorangan. Apalagi, lanjut mantan Anggota Panja RUU Pilkada DPD ini, persyaratan bagi calon perseorangan sudah pernah dinaikkan rerata 3 persen pada revisi UU pilkada terakhir menjadi 6,5-10 persen dari jumlah pemilih (sesuai kluster jumlah penduduk daerah yang bersangkutan).
Kalau alasannya untuk meningkatkan derajat legitimasi perseorangan, Farouk menilai regulasi saat ini sudah cukup berat, apalagi legitimasi sesungguhnya sebenarnya ada pada rakyat sebagai pemilih.
“Kalau sekarang dinaikkan lagi, apalagi dengan persentase demikian tinggi, sangat kuat kesan ada upaya sistematis untuk menghabisi/menjegal calon perseorangan lewat Undang-undang,” ujar Farouk.
Dengan syarat sekarang saja, menurut Senator asal NTB ini, sangat berat bagi calon perseorangan memenuhinya sehingga diprediksi ke depan akan semakin berkurang minat pencalonan melalui jalur perseorangan.
Semakin beratnya syarat dukungan ini juga diperkuat dengan data hasil verifikasi Komisi Pemilihan Umum terhadap bakal pasangan calon perseorangan yang maju dalam pilkada serentak Desember 2015 yang lalu. Dalam catatan Perludem, dari 250 pasangan calon perseorangan yang mendaftar, 80 pasangan tidak memenuhi syarat. Dari jumlah yang tak lolos itu, 64 pasangan (80 persen) tidak lolos karena kekurangan syarat minimal dukungan.
“Tentu saja semakin beratnya syarat minimal dukungan yang harus dipenuhi calon dari jalur perseorangan kian mempersempit orang untuk maju melalui jalur ini. Dengan begitu, panggung kontestasi pilkada, terutama pada tahap pencalonan, bakal didominasi peran parpol. Atau bahkan, jika pendaftar parpol juga minim akan menyebabkan hanya ada calon tunggal seperti yang terjadi di beberapa daerah pada pilkada serentak yang lalu,” kata dia.
Tonggak hadirnya calon perseorangan adalah berdasarkan Amar Putusan MK No. 5/PUUV/2007 tentang pencabutan terhadap ketentuan pasal 59 ayat 1 dan pasal 56 (2) dari UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang saat itu mengatur penyelenggaraaan pilkada. Pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) karena hanya memberi kesempatan bagi pasangan calon dari partai politik atau gabungan partai politik. Dengan putusan MK tersebut, terbukalah kesempatan bagi calon non-parpol atau calon perseorangan untuk berlaga dalam pilkada.
Awalnya, UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 sebagai implementasi Putusan MK mengatur syarat pencalonan bagi perseorangan yaitu harus mendapatkan dukungan 3-6,5 persen berdasarkan kluster jumlah penduduk. Lalu UU Pilkada terakhir yakni UU No. 8 Tahun 2015 meningkatkan syarat menjadi 6,5-10 persen tergantung kluster jumlah penduduk.
Kini muncul kembali usul peningkatan syarat dukungan calon perseorangan dari sejumlah anggota DPR jelang revisi UU Pilkada yang akan datang.(faz/iss/ipg)