DPD RI melihat saat ini telah terjadi darurat kekerasan seksual terhadap anak, namun hukum yang diterapkan tidak memberikan efek jera terhadap pelaku dan belum memberikan advokasi, perlindungan yang memadai terhadap korban. Karena itu, Komite III DPD RI mendesak pemerintah dan DPR RI segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) terhadap anak.
“DPD RI sudah menyusun naskah akademik RUU PKS tersebut, tinggal dibahas dan segera disahkan bersama DPR RI dan pemerintah. DPD RI bekerjasama dengan kalangan akademisi, Komnas Perempuan dan lain-lain. Bahwa dalam paradigma DPD RI, pembentukan UU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual itu harus dapat menindak pelaku dengan merumuskan pidana yang proporsional, dan menimbulkan efek jera,” ujar GKR Hemas Wakil Ketua DPD RI didampingi Hadi Selamat Hood Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris, Eny Chaerany Wakil Ketua dan Anggota Komite III DPR RI yang lain dalam jumpa pers di Gedung DPD RI Jakarta, Senin (23/5/2016).
Sementara Hadi Selamat Hood mengatakan, hukuman tersebut harus memberikan pemulihan dan perlindungan bagi korban dan keluarganya, serta dilengkapi hukum acara yang komprehensif.
“Untuk itu, DPD RI meminta dukungan semua pihak agar RUU PKS yang sedang disusun DPD RI bisa secepatnya dibahas bersama DPR RI dan pemerintah untuk segera disahkan menjadi UU,” kata dia.
DPD RI juga mendesak semua pihak agar bergandengan tangan melakukan gerakan bersama anti kekerasan seksual, empati pada anak, dan perempuan serta menciptakan lingkungan dan sistem pendidikan yang mampu menjamin kenyamanan serta perlindungan bagi anak dan perempuan.
Menurut Hadi, untuk kurun waktu 4 bulan (Januari sampai April 2016) saja berdasarkan data Polrestabes Bandung, sepanjang tahun 2015 terdapat 91 kasus kekerasan seksual. Bahkan Komnas Perempuan mencatat setiap 2 jam terdapat 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Hal itu karena secara hukum meski ada UU KUHP, UU No.35 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak, UU No.21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), namun semua UU tersebut tidak memberikan efek jera bagi predator kekerasan seksual tersebut.
“KUHP hanya mengenal perkosaan sebagai satu dari 15 bentuk kekerasan seksual yang diidentifikasi oleh Komnas Perempuan. Itu pun dengan keterbatasan unsur delik yang seringkali menyulitkan korban terkait pembuktian. Ancamannya pun ringan sepanjang tidak menimbulkan luka dan kematian. Pada UU No.35 tahun 2004 perlindungan anak, ancaman pidananya hanya memberikan perlindungan jika korban berusia anak, sehingga setiap korban tidak dapat disediakan UU ini,” ujar dia.(faz/iss/ipg)