Arsul Sani Anggota Komisi III DPR RI menegaskan jika Komisi III DPR RI telah melakukan dengar pendapat dengan para hakim muda maupun tua, dan berkunjung ke daerah-daerah dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim. Kata dia, setidaknya ada tiga isu pokok yaitu status profesi hakim, rekrutmen, promosi, mutasi dan pengawasan hakim.
“Jadi, ada tiga isu pokok dalam RUU Jabatan Hakim yang akan dibahas oleh Komisi III DPR RI. Itu, setelah Komisi III DPR mendapat dorongan dari Komisi Yudisial (KY), Forum Diskusi Hakim Indoensia (FDHI), pengadilan negeri dan lain-lain,” ujar Arsul dalam forum legislasi “RUU Jabatan Hakim” bersama Topane Gayus Lumbun Hakim Agung RI dan Margarito Kamis Pakar Hukum Tata Negara, di Gedung DPR RI, Senayan Jakarta, Selasa (29/3/2016).
Kata Arsul, selama ini yang punya status hakim dan menjadi pejabat negara hanya hakim agung. Bukan para hakim pengadilan negeri di seluruh Indonesia. Karena itu, mereka datang ke Komisi III DPR RI meminta agar dijadikan pejabat negara.
“Persoalannya dalam kondisi ekonomi yang masih melambat saat ini, apakah APBN itu cukup untuk memback up mereka sebagai pejabat negara?” ujar dia mempertanyakan.
Saat ini setidaknya terdapat 7500 hakim ad hoc (tidak tetap, bukan PNS) di seluruh Indonesia.
Kemudian masalah proses rekruitmen, promosi, mutasi dan pensiun hakim. Semua proses itu selama ini tidak mendapat pengawasan dengan baik. Bahkan Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) yang mengadu ke DPR RI itu saja katanya mendapat ancaman, karena dinilai melangkahi para hakim senior di IKAHI.
“Bahkan ada istilah kalau macam-macam akan dikritingkan, atau dimutasi ke daerah Timur, Papua, dan daerah terpencil lainnya. Juga, mereka banyak mengeluh karena lama berpisah dengan keluarga dan sebagainya,” kata dia.
Kemudian tentang pengawasan hakim, selama ini menurut Arsul, juga hampir tidak ada pengawasan khususnya terkait kinerja dan perilaku hakim.
“Evaluasi itu secara siklus lima tahunan. Tapi, siapa yang mengawasi? Kalau DPR RI kan langsung oleh rakyat, dan jika dianggap tidak benar, maka pada pemilu berikutnya tidak akan dipilih lagi,” kata Arsul.
Seperti halnya usia pensiun hakim dari semula 55 tahun akan dirubah menjadi 70 tahun, sebelum pensiun itu Arsul juga belum tahu evaluasi apa yang dilakukan selama menjadi hakim?
“Kinerjanya, intelektualnya, etikanya dan lainnya di internal pengadilan sendiri bagaimana? Karenanya, KY ke DPR meminta pertimbangan apakah mereka itu bisa diperpanjang atau tidak?” ujar Arsul.
Gayus Lumbun sendiri mendukung RUU tersebut karena hampir semua negara memiliki UU dimaksud. Khususnya kedudukan hakim ad hoc di pengadilan, hakim pengadilan militer, yang secara spesifik sudah memiliki 8 UU kemiliteran.
“Jadi, pemerintah dan DPR RI harus mendorong revisi UU KY untuk meningkatkan peran hakim tersebut,” kata dia.
Terkait hasil putusan hakim misalnya, dimana putusan itu setelah diketok sudah menjadi milik publik. Juga usia pensiun hakim 67 tahun atau dipercepat lagi memang agar terjadi regenerasi yang baik. Mengapa? Sebab, kata Gayus, di bawah itu banyak hakim yang ingin menjadi hakim agung.
Yang pasti kata Gayus, dengan UU ini diharapkan hakim bisa bekerja dengan bertanggung jawab, transparan dan profesional. Mengingat, kemajuan suatu negara, kesejahteraan rakyat, perbaikan ekonomi, demokrasi dan lain-lain itu bisa dilihat dari proses penegakan hukumnya.
“Jadi, maju tidak suatu negara itu dilihat dari hasil putusan penegak hukumnya di pengadilan,? ujar mantan politisi PDIP itu.
Margarito juga sependapat jika negara ini butuh hakim dan peradilan yang berjalan secara transparan, adil, profesional, cepat dan tepat.
“Tidak bertele-tele, ribet, rumit dan panjang. Contohnya di MA, untuk satu keputusan perkara saja prosesnya harus melalui 27 tahapan. Bukankah itu bisa diperpendek? Apalagi, kewibawaan hakim itu ada pada independensinya, bukan prosesnya,” kata dia.
Menurut Margarito, yang terpenting, manajemen perkara di tiap-tiap tingkatan pengadilan bisa diketahu publik. Seperti halnya membeli setiap barang di supermarket, dimana harganya bisa diketahui hanya dengan mengklik komputer.
“Seharusnya setiap putusan di pengadilan itu bisa diketahui publik. Baik dari proses sampai keputusan akhirnya. Karena disitulah kinerja hakim itu bisa diketahui,” ujar dia.
Karena itu kata Margarito, kualitas dan kewibawan hakim itu selain ditentukan oleh independensinya, juga ditentukan dengan kecepatan dan ketepatan dalam memutus perkara.
“Dengan begitulah, maka kita akan mendapat keputusan peradilan yang hebat,” kata Margarito.(faz/iss/ipg)