Yusril Ihza Mahendra mantan Menteri Hukum dan HAM mengatakan, sidang etik Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tampaknya memang fokus ke “Papa Minta Saham”.
Setelah sidang terbuka, ternyata banyak hal baru yg mengejutkan. Salah satunya, dalam rekaman ternyata terungkap hal lain yang justru harus juga dijadikan perhatian aparat penegak hukum.
“Salah satunya ialah disebutkan dalam rekaman adanya uang 250 miliar yang disebut diberikan MR ke dua pasangan capres baik Jokowi JK maupun Prabowo Hatta,” ujar Yusril dalam pesan singkatnya ke suarasurabaya.net, Jumat (4/12/2015)
Menurut Yusril, keterangan ini harusnya dijadikan informasi penting untuk disidik lebih dalam oleh aparatur penegak hukum. Sebab, kalau rekaman itu benar, jelaslah bahwa ini adalah pelanggaran hukum, dan bukan sekadar pelanggaran etik.
“Ini menyangkut pasangan capres dan salah satunya kini terpilih menjadi presiden dan wakil presiden. Setelah sidang MKD terbuka ternyata banyak hal baru terungkap, dan hal baru itu tidak kalah menariknya dibanding isi “papa minta saham” yang diduga melibatkan SN Ketua DPR,” kata dia..
Yusril melihat sejumlah pihak tampak mulai khawatir dengan terungkapnya hal baru ini. Pramono Anung Seskab sudah wanti-wanti bahwa yang direkam itu ada yang benar dan yang tidak benar. Hal-hal lain yang terungkap dalam sidang MKD oleh Pramono disebut sebagai “hiperbola”. Apakah uang 250 miliar itu juga termasuk hiperbola seperti dimaksud Pramono?
Hiperbolanya Pramono Anung, kata Yusril, jelas menggambarkan selera dan kepentingan politiknya sendiri. Yang cocok sama kepentingannya disebut benar, yang tidak cocok disebutnya hiperbola.
“Kalau begini keadaannya susah mengharapkan hukum dan keadilan akan tegak di negara ini. Kejagung juga buru-buru “menyita” HP MS konon untuk kepentingan penyelidikan? Ke arah mana penyelidikan Kejagung? Apakah dimaksud akan “menyeret” seseorang atau sekelompok orang dan “melindungi” nama-nama lainnya?” ujar Yusril heran.
Dia menegaskan, kenyataan ini sangat serius, apalagi akhir-akhir ini Kejagung terus ditimpa rumors tidak sedap, yakni “bias” dalam melakukan langkah penegakan hukum karena terlalu banyak kepentingan politik dan bisnis dari para politisi dan pengusaha di balik layar.(faz/iss/ipg)