Fenomena penyebaran paham oleh kelompok radikal terorisme menamakan dirinya ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Indonesia harus terus dipantau dan diwaspadai oleh pemerintah dan komponen bangsa ini.
Kemunculan ISIS ini sebenarnya buah dari ketidakstabilan politik dan keamanan di negara-negara Timur Tengah. Yang dilakukan ISIS bukan jihad, jadi tak layak ditiru.
“Jika merujuk teori sosiologi politik, takkala negara lemah semisal politik dan keamanan tidak stabil, saat itulah aktor dan kelompok non-negara menguat untuk menguasai wilayah yang vakum dari kekuaasaan negara. Ini bisa menggambarkan lahirnya ISIS ini,” ujar Azyumardi Azra mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, Selasa (14/7/2015).
Menurutnya ISIS lahir dari ketidakstabilan politik, sosial dan agama. Ketika gelombang demokrasi itu sampai ke Suriah maka bercabanglah kelompok oposisi yang sebagian murni gerakan pro demokrasi dan lebih banyak lagi adalah kelompok militan radikal dengan mengusung semangat sektariasnisme keagamaan yang menyala-nyala yakni ISIS ini.
“ISIS menjadi brutal dan menimbulkan simpati segelintir muslim lintas benua dari Eropa sampai Indonesia karena mereka pintar menggunakan kata kunci yang populer di kalangan muslim, khususnya jihad dan khalifah. Padahal kebrutalan ISIS ini jelas tidak bisa disebut jihad, karena jihad yang mereka lakukan menyimpang,” ujar Azyumardi.
Sementara itu istilah Khalifah sendiri menurutnya adalah istilah yang banyak mengandung nuansa romantisme dan idealisme tentang sistem dan kelembagaan politik Islam. Banyak kalangan muslim yang tanpa pengetahuan yang memadai tentang konsep dan praktek Khalifah yang mempersepsikan dan meyakini khalifah sebagai sistem, bentuk danpraksis politik Islam paling sahih, ideal dan terbaik yang perlu diperjuangkan terus menerus.
Inilah yang terjadi di Indonesia. Karena konsep khalifah yang dianggap tidak sesuai dengan kaedah sesungguhnya sesuai apa yang dianut segelintir umat muslim makaberbagai pihak di Indonesia diminta untuk tetap senantiasa perlu mencermati dan mewaspadai penyebaran ajaran dan rekrutmen ISIS secara komprehensif dan bekelanjutan. Walau potensi keberhasilannya relatif kecil, gagasan dan praksis ISIS dapat menimbulkan dampak dan ancaman serius terhadap kehidupan politik, agama, sosial dan budaya di Indonesia.
“Hampir bisa dipastikan kelompok kecil radikal yang selama ini aktif di Indonesia yang tidak lain adalah pemain-pemain lama seperti veteran JI, MMI atau JAT yang bisa saja menggunakan nama lain seperti AnsharAl-Dawlah Al-Islamiyah dan sebagainya. Ini yang harus diwaspadai,” ujarnya mengingatkan.
Padahal menurutnya mayoritas umat Islam Indonesia yang tergabung dalam NU, Muhammadiyah, MUI baik dari di tingkat nasional dan daerah beserta ormasnya secara terbuka telah menolak ISIS.
“Mereka telah sepakat ISIS merupakan penyimpangan dari Islam Rahmatan Lil Alamin. Penolakan itubukan pernyataan politik, tapi berdasarkan hujjah atau dalil keagamaan melalui iftihad dab fatwa ulama dan juga lembaga badan pengurus fatwa,” katanya.
Sementara itu Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional di Universitas Indonesia mengatakan bahwa upaya-upaya pencegahan dan penindakan terhadap paham radikal yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) dinilai sudah tepat.
“BNPT sudah lakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah masuknya faham-faham radikal ini,” kata Hikmahanto.(faz/ipg)