Penggiat anti korupsi menyatakan kecewa dengan sikap beberapa partai politik yang dengan sadar mengusung bakal calon kepala daerah yang pernah dipenjara karena kasus Tipikor.
Meskipun proses hukumnya sudah selesai dan KPU memberinya kesempatan ikut Pilkada. Namun sanksi sosial dari masyarakat sebagai orang yang pernah korupsi uang rakyat masih melekat.
Syafii Maarif salah satu tokoh masyarakat penggiat anti korupsi mempertanyakan apakah sudah tidak ada lagi calon kepala daerah yang lebih baik dari mantan koruptor.
Apakah partai politik pengusung bakal calon bekas Napi memang punya tujuan lain untuk kepentingan partainya.
Pada umumnya mantan Napi yang ikut bertarung di Pilkada kantungnya tebal dan logistiknya kuat.
Mantan ketua umum Muhammadiyah mencatat sementara ini ada dua bekas napi yang telah mendaftarkan ikut Pilkada serentak 9 Desemeber. Yakni salah satu bakal calon Walikota Semarang dan bakal calon Bupati Sidoarjo yang sama-sama pernah dipenjara karena tersandung korupsi.
Muhaimin Iskandar ketua umum DPP PKB pada suarasurabaya.net mengungkapkan, mencari calon kepala daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota sekarang bukan pekerjaan mudah. Harus memilih satu diantara dua pilihan yang sama-sama berisiko.
Ada calon yang memiliki integritas cukup tinggi, pintar dan jujur. Tapi dalam kalkulasi politik tidak akan terpilih karena secara finansial lemah dengan kata lain tidak punya modal. Sebaliknya ada calon yang tidak baik termasuk mantan Napi tapi peluang menang cukup besar karena modal dan logistik kuat.
Disinilah sulitnya menentukan pilihan. Mendukung calon yang jujur tapi peluang menangnya tipis. Atau memilih calon yang integritasnya rendah tapi peluang menang sangat besar.
Muhaimin menyadari money politic dalam Pilkada memang dilarang tapi praktiknya sulit dihilangkan.”Karena itu PKB dan koalisinya mencari yang aman-aman saja,” kata muhaimin.
Menyikapi mantan koruptor boleh ikut Pilkada, Fajrul Rahman komunitas salam dua jari mengatakan, jangan dukung partai yang mengusung koruptor. (jos/dwi/rst)