Zulkifli Hasan Ketua MPR RI berjanji akan mengawal ketat untuk menolak tembakau dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kebudayaan, yang sedang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baleg menilai rokok kretek sebagai warisan budaya bangsa, yang perlu dilestarikan sekaligus untuk melindungi petani tembakau.
“Kalau bagi saya jelas rokok itu haram karena tidak ada manfaatnya. Bahkan merusak tubuh manusia dan dampak buruk bagi masyarakat sekitar. Apalagi masyarakat yang merokok itu mayoritas orang miskin, tidak mampu, dan tidak memahami dampak buruk rokok itu sendiri. Mereka ini banyak menghabiskan rokok, tapi tidak mampu membelikan buku sekolah untuk anak-anaknya,” tegas Zulkifli yang juga Ketua Umum DPP PAN saat menerima Komnas Pengendalian Tembakau di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Senin (12/10/2015).
Hadir pengurus Komnas Pengendalian Tembakau tersebut di antaranya Prijo Sidipratomo (Ketua Umum), Laksmiati A. Harifiah (Ketua Harian), Hakim S. Pohan, Kartono Muhammad, dan lain-lain.
Zulkifli mencontohkan setiap hari keluarga yang tidak mampu tersebut minimal menghabiskan Rp 12. 000,- untuk sebungkus rokok, namun tidak ada uang untuk membeli susu dan kebutuhan kluarga lainnya demi kesehatan.
“Itulah yang kita sebut sebagai budaya yang tidak elok. Jadi, kalau Fraksi PAN jelas menolak rokok kretek dalam RUU Kebudayaan itu,” ujarnya.
Karena itu, dia mengajak Komnas Pengendalian Tembakau dan masyarakat untuk kerja keras menggalang kekuatan untuk menolak kretek dalam RUU Kebudayaan.
“Memang ini tidak mudah, karena banyak fraksi di DPR RI yang juga mendukung, itulah demokrasi. Tapi, FPAN DPR sudah jelas dan tegas menolak,” paparnya.
Sementara Prijo Sidipratomo menjelaskan jika Komnas Pengendalian Tembakau ini bermaksud untuk mengajak hidup sehat masyarakat, khususnya terkait tembakau. Sebab, kalau sampai rokok kretek itu lolos dalam RUU Kebudayaan, maka sebagai kemunduran, karena telah membuka ruang bebas bagi anak-anak untuk terus merokok.
“RUU Kebudayaan yang menyatakan untuk melindungi petani tembakau itu tidak benar, karena justru untuk melindungi industri rokok. Masa hanya diproduksi di tiga provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB), tapi UU akan berlaku secara nasional. Itu kan tidak fair. Betapa pun kuatnya industri rokok, kalau pemegang kebijakannya mempunyai integritas dan konsisten, maka rokok itu tidak bisa lolos,” tambah Kartono Muhammad.
Hakim S. Pohan menjelaskan jika industri rokok yang ada di Indonesia saat ini dipastikan akan berjuang keras untuk tetap bisa eksis di Indonesia, karena hanya Indonesia yang menjadi satu-satunya negara yang bisa dimanfaatkan untuk industri rokok saat ini. Sedangkan di luar negeri sudah sulit termasuk Amerika Serikat.
“Lebih memprihatinkan lagi pemilik industri rokok di negeri ini sekarang adalah dikuasai asing dan keuntungannya juga untuk asing,” pungkasnya.
Sebelumnya Firman Soebagyo Wakil Ketua Badan Legislasi DPR menegaskan jika masuknya pasal kretek dalam RUU Kebudayaan adalah untuk melindungi kepentingan industri dalam negeri, khususnya para petani tembakau.
“UU Kebudayaan adalah untuk melindungi kepentingan nasional, industri tembakau dalam negeri, petani tembakau dan kepentingan nasional secara keseluruhan,” kata politisi Golkar itu.
Menurut Firman, dalam UU itu nantinya akan diatur soal pembatasan impor tembakau. Saat ini jumlah impor tembakau masih sangat tinggi, yakni 20 % dari total kebutuhan nasional.
“Kami di DPR akan meminimalkan impor tembakau yang saat ini masih 20 % dari total kebutuhan. Nah angka itu nanti akan dikurangi di bawah 20 persen, bahkan sampai 0 persen,” ujarnya.
Dengan meminimalkan impor kata Firman, diharapkan bisa kembali meningkatkan kesejahteraan para petani tembakau. Dia menyebut akibat tingginya impor, banyak petani tembakau yang beralih menjadi petani tebu. “Anehnya, harga tebu terus anjlok dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah,” pungkasnya.(faz/ipg)