Ketegangan yang terjadi di DPR menimbulkan berbagai spekulasi politik di masayarakat. Salah satu spekulasi adalah pembubaran DPR melalui suatu dekrit. Namun, M. Syaiful Aris dosen Fakultas Hukum Tata Negara Universitas Airlangga Surabaya mengatakan perlu adanya kajian lebih lanjut untuk membuat dekrit presiden di era Soekarno.
“Dalam beberapa sistem kenegaraan dekrit dimungkinkan dapat muncul, tetapi dalam sistem peraturan UU juga harus dilindungi. Jadi, mekanismenya, di UU terbaru nomer 17 tahun 2014 secara regulasi telah diatur. Lagi-lagi, persoalannya adalah aturan itu akan berjalan dengan baik, kalau masing-masing pihak good will dan punya kesadaran untuk berkomitmen .” kata Syaiful pada Radio Suara Surabaya Kamis (30/10/2014).
Lanjut Syaiful, dalam aturan tata negara dalam UUD nomer 17 tahun 2014 fungsi DPR/MPR memiliki keistimewaan yang tidak bisa dimakzulkan.
Bagian dari langkah rakyat untuk menunjukkan ketidak percayaan kepada seluruh anggota dewan, menurutnya sah-sah saja, karena DPR dipilih oleh rakyat melalui mekanisme yang disebut pemilu. Walaupun mekanismenya secara yuridis, tapi tetap bagian dari pemberian mandat.
“Menurut saya, itu bagian yang tidak salah. Melainkan bagian dari controling DPR,” tambahnya.
Dia menuturkan, meski kewenangan pemberian mandat pada anggota dewan hanya berlaku selama 5 tahun sekali, kewenangan juga ada pada partainya.
“Kalaupun mereka diganti, kan ada wewenang dari partainya. Nah, fungsi-fungsi itu yang harus disempurnakan dan jadi catatan buat sistem ketataan negara kita,” tutupnya.(ono)