Orang menebak umur bisa keliru. Termasuk umur JNSEN JASIEN (33 tahun) pelukis muda asal Krian. Gara-gara kegilaannya dengan literature dan obyek tempo doeloe, sering JASIEN dianggap seusia kakek-kakek. “Mungkin ini juga karena nama JANSEN JASIEN itu,” sahut pelukis muda ini sambil tertawa lebar.
Dalam roadshownya beberapa waktu lalu di Bali, seorang turis sempat terkejut ketika tahu JASIEN asal Krian. Turis ini sempat menduga, pelukis yang karyanya baru dilihat di pameran seorang Belanda tua yang memilih tinggal di Surabaya dan sedang menyelengarakan pameran di Bali. “Saya sempat bingung menjelaskan, kalau saya ini Krian asli,” kata JANSEN JASIEN sambil terus tertawa lebar.
JASIEN pun bercerita asal muasal nama. JANSEN JASIEN cuma semacam julukan. Nama ini diterimanya sebagai totalitasnya berkonsep dalam karya. “Gara-gara kegemaran saya dengan obyek tempo doeloe. Ada teman akrab saya memberi nama baru, JANSEN di depan nama saya. Dan itulah nama saya sekarang. JANSEN JASIEN.” kata pelukis bertubuh kerempeng berambut panjang lurus yang diwarna pirang ini.
Buat JASIEN melukis obyek tempo doloe tidak sekadar menuangkan imajinasi. Konsep bisa dirancang jauh sehari sebelumnya, agar goresan cat minyak tampak mempesona di atas kanvas. Konsistensinya melukis objek bangunan tempo doeloe membuat JASIEN betah berkutat dengan segepok buku literatur yang banyak memuat visual-visual bangunan kuno dan bersejarah.
Tidak hanya datang langsung ke lokasi bersejarah di pojok-pokok kota, literatur dan buku yang memuat tulisan sejarah pun dilahapnya habis. Diantaranya buku DUKUT IMAM WIDODO yang banyak mengulas kehidupan kota-kota di masa lalu. “Terus terang, buku-buku tempo doeloe punya Pak DUKUT diantara inspirasi terbesar saya dari banyak karya saya, “ kata JASIEN saat ditemui suarasurabaya.net, Senin (01/10) di studionya.
Tak aneh, bila kita datang ke studio lukis sekaligus rumah tinggalnya di kawasan desa Tambak, Kecamatan Krian, beberapa buku yang pernah dijamahnya, pada beberapa lembar halamannya terdapat cipratan cat. Maklum JASIEN membaca buku itu tak jauh dari kanvas dan cat. JASIEN mengatakan, ketertarikannya bergelut dengan melukis objek bangunan bersejarah, mengalir begitu saja sejak tahun 2001 silam.
Proses melukispun dilalui JASIEN layaknya pelukis lainnya. Mulai realis, naturalis hingga kini gandrung melukis obyek tempo doeloe dalam aliran impressionis-ekspresionis. “Saya hanya ingin bangunan sejarah tidak hanya hidup dalam kenangan dan akhirnya hilang. Bangunan tempo doeloe bisa abadi. Sekarang memang saya baru bisa abadikan dalam bingkai lukisan,” ujar ayah dari MAHARA SWARGANING SINAVAS.
Dengan menuangkan objek bangunan kuno dan bersejarah di atas kanvas, JASIEN berharap bisa jadi inspirasi buat yang lain supaya semangat bisa merawat bangunan tempo doeloe. Untuk meggelorakan niatnya ini JANSEN JASIEN bersama seniman dan pekerja seni di Kampung Seni Mutiara Sidoarjo mendirikan Kelompok Pekerja Seni Pecinta atau KPS-PS. Ia ditunjuk rekan-rekanya sebagai ketua. “Banyak kegiatan yang kami rancang. Mulai sekadar pameran lukisan, sampai kampanye penyelamatan obyek-obyek tempoe doeloe,” pungkas JASIEN pada suarasurabaya.net, Senin (01/10) serius.
Teks foto:
1. Lonceng Inggris, obyek bangunan tempo doeloe.
2. JANSEN JASIEN tengah menuangkan idenya diatas kanvas.
Foto: JANSEN JASIEN untuk suarasurabaya.net