Seni kaligrafi Cina dikenal dengan sangat pakem dengan beberapa ketentuan yang sakral seperti halnya konsep, bentuk coretan dan juga warna yang harus sejenis. Akibatnya, seni kaligrafi seperti itu terkesan membosankan dan tidak berubah selama bertahun-tahun.
Seni kaligrafi tanpa ada perubahan konsep, bentuk coretan dan warna, hanya bisa dipahami kalangan generasi tua khususnya di Indonesia. Sementara di Amerika dan Cina, seni kaligrafi Cina bisa diterima semua kalangan karena ditampilkan secara kontemporer dan tidak mengikuti kaidah yang ada.
LIEN JOK PIENG atau yang dikenal dengan nama IPPHING pelukis kelahiran Tulungagung melihat ini sebuah fenomena yang harus diubah dan dihadirkan kembali di Indonesia. Dengan harapan, generasi muda juga akan menyukai seni kaligrafi Cina dalam kemasan lebih modern.
Pada suarasurabaya.net, Rabu (21/03), di sela pembukaan 25 karyanya di Lobby Atrium Main Wing Hyatt Regency Surabaya, IPPHING menegaskan, memang ada resiko yang harus ditanggung dirinya dengan mendobrak tradisi seni kaligrafi Cina. Resikonya, kadang dicaci maki generasi tua karena dianggap tidak menghargai tradisi.
Meski demikian, IPPHING menerima resiko itu. Yang penting, dirinya bisa membudayakan seni kaligrafi Cina di Indonesia dan tidak hanya di luar negeri. Bahkan dia mendapat dukungan dari teman-temannya yang ada di Bali. Berikut penuturan IPPHING, {clip*1}.
Bagi IPPHING sebuah karya seni akan bebas mengekspresikan bentuk-bentuk yang terlintas dalam benak seorang pelukis. Seperti yang ditoreh dalam banyak hasil karyanya bahwa manusia harus ramah terhadap alam dan lingkungan hidupnya. Filosofi hidup IPPHING banyak dilukiskan dalam hasil karyanya seperti Yu Qing, Sang Wartawan, Semua Orang Kepingin Bahagia, Yu Ge Zi.
Dalam karya terbarunya sekaligus master piece-nya, Yu Qing, IPPHING seolah-olah ingin menyampaikan bahwa setelah hujan akan datang matahari yang bersinar. Saat itu, kupu-kupu dan lebah akan muncul menghiasi alam.
“Pada Yu Qing saya simboliskan terhadap beberapa peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Pasca kerusuhan Mei 1998 yang lalu, kiprah etnis Tionghoa di Indonesia makin membaik. Namun apakah benar situasi sudah sedemikian ramah terhadap satu diantara etnis di Indonesia ini ? Ini saya simbolkan dalam goresan yang tidak lengkap dalam lukisan ini,”ungkapnya.
Pameran yang berlangsung sampai 9 April 2007, menurut LIEM OU YEN Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa di Surabaya, merupakan pameran lukisan yang paling lengkap. Pasalnya, tidak hanya seni kaligrafi Cina yang ditampilkan tapi juga ekspresi pelukisnya yang tidak ingin dibatasi dengan kaidah-kaidah yang ada.
“Seharusnya budaya tidak dibatasi dengan apapun. Inilah yang menjadikan karya IPPHING memiliki keunikan tersendiri dan penuh dengan filosofi. Terkadang, goresan yang ditampilkan bisa dipahami tapi ada juga yang sulit dimengerti. Tapi bagaimana pun juga ini karya-karya terbaik dari seorang IPPHING,”pungkasnya.
Teks foto :
1. LIEM OU YEN (kanan) menyimak seni kaligrafi Yu Ge Zi didampingi IPPHING sang pelukis
2. Deretan karya seni kaligrafi Cina karya IPPHING termasuk master piece-nya (tengah) Yu Qing
Foto : TITIN suarasurabaya.net