Pada Agustus lalu, UNESCO merilis laporan yang menunjukkan bahwa mayoritas anak sekolah di dunia masih kekurangan akses terhadap pendidikan jasmani yang memadai.
Berdasarkan laporan pertama tentang Status Global Pendidikan Jasmani Berkualitas, dua pertiga siswa sekolah menengah (SMP/SMA) dan lebih dari setengah siswa sekolah dasar (SD) tidak menerima pendidikan jasmani sesuai dengan rekomendasi mingguan.
Audrey Azoulay Direktur Jenderal UNESCO menegaskan pentingnya pendidikan jasmani sebagai investasi berharga, tidak hanya untuk kesehatan fisik siswa, tetapi juga untuk meningkatkan kinerja akademis serta pengembangan pribadi mereka. Namun, sering kali pendidikan jasmani dianggap sebagai mata pelajaran yang kurang penting.
UNESCO pun mengimbau 194 negara anggotanya untuk menjadikan pendidikan jasmani sebagai prioritas, dengan alokasi waktu, sumber daya manusia, dan anggaran yang memadai.
Apakah menurut Anda, jam pelajaran olahraga atau pendidikan jasmani di sekolah sudah cukup atau masih kurang?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya pada Kamis (3/10/2024), mayoritas peserta polling menyebut jam pelajaran olahraga di sekolah masih kurang.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 67 persen peserta polling menyebut jam pelajaran olahraga di sekolah masih kurang. Sedangkan 33 persen lainnya menilai sudah cukup.
Kemudian dari data di Instagram @suarasurabayamedia, 68 persen voters atau peserta polling menyebut jam pelajaran olahraga di sekolah masih kurang. Sedangkan 32 persen lainnya sudah cukup.
Menyikapi hal tersebut, Prof. I Made Sri Undy Mahardika guru besar Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menyatakan pentingnya perbaikan dalam implementasi pendidikan jasmani.
Ia menjelaskan bahwa perubahan terminologi dalam mata pelajaran pendidikan jasmani harus diikuti dengan perubahan tujuan belajar yang jelas.
“Pemerintah sudah sadar bahwa pendidikan jasmani dapat menjadi instrumen pembangunan manusia. Pembangunan SDM itu invistasi besar. Namun, banyak guru yang tidak memahami rumusan tujuan dan standar isi pendidikan nasional, yang dapat menghambat implementasi yang efektif,” ungkapnya.
Prof. Made menambahkan bahwa undang-undang Republik Indonesia tentang keolahragaan menyebutkan pentingnya pendidikan jasmani untuk meningkatkan potensi fisik dan kesadaran hidup sehat.
Akan tetapi di lapangan banyak guru masih fokus pada aspek olahraga tanpa memahami peran pendidikan jasmani dalam membentuk budaya hidup sehat di kalangan siswa.
Dosen Unesa kelahiran Singaraja tersebut juga menyoroti pentingnya pendidikan seksual dan kesadaran terhadap bahaya narkoba sebagai bagian dari pendidikan jasmani.
Sebab pendidikan jasmani seharusnya tidak hanya tentang olahraga, tetapi juga tentang membangun kesadaran hidup sehat dan perilaku positif di kalangan siswa.
Alokasi waktu yang disarankan oleh UNESCO adalah minimal tiga kali seminggu dengan durasi satu jam setiap sesi untuk meningkatkan kebugaran siswa.
Prof. Made menekankan perlunya kebebasan bagi guru untuk mengembangkan metode pembelajaran dan program latihan yang sesuai. Apalagi setiap anak seharusnya memiliki satu olahraga yang mereka gemari, sehingga mereka bisa aktif dan sehat.
“Misalnya ada anak yang suka olahraga bersepeda, ya tidak apa-apa. Kan tidak semua harus sepak bola atau voli,” kata Prof Made. (saf/ipg)