Minggu, 24 November 2024

Barcelona dan 2 Senjatanya untuk Kembali Kuasai Eropa

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Selebrasi Robert Lewandowski (kanan) dengan rekan setimnya setelah mencetak gol kedua Barcelona dalam pertandingan Liga Spanyol lawan Real Madrid di Santiago Bernabeu pada Minggu (26/10/2024). Foto: Antara/ Barcelona

Kemenangan Barcelona dengan skor telak 4-0 atas Real Madrid di Liga Spanyol, dalam laga bertajuk El Clasico, pada Minggu (27/10/2024) dini hari WIB, menjadi penanda bahwa skuad berjuluk “Blaugrana” siap menancapkan lagi kukunya di persepakbolaan Eropa.

Dua gol dari Robert Lewandowski, ditambah sumbangan skor dari Raphinha dan Lamine Yamal itu, membuat Barcelona kembali diperhitungkan sebagai klub tangguh dengan potensi meraih trofi demi trofi.

Melansir Antara, citra “menakutkan” seolah terbang dari Barcelona sejak mereka merengkuh tiga gelar (treble) yakni Liga Spanyol (La Liga), Liga Champions UEFA dan Copa del Rey pada tahun 2015.

Setelah itu, manajemen Barcelona membuat serangkaian kekeliruan dalam menjalankan klub, termasuk yang paling menggemparkan adalah melepas salah satu pilar mereka, Neymar, ke klub raksasa Prancis, Paris Saint-Germain pada 2017.

Neymar pindah dengan nilai transfer fantastis yakni 222 juta euro (sekitar Rp3,5 triliun) dan itu menjadi nilai transfer tertinggi di dunia hingga saat ini.

Kepergian Neymar membuat petinggi Barcelona mencari pengganti yang dianggap sepadan. Nama-nama seperti Ousman Dembele, Antoine Griezmann, Philippe Coutinho didatangkan dengan biaya masing-masing di atas 100 juta euro (sekitar Rp1,5 triliun).

Belum lagi ada sosok seperti Malcom dan Miralem Pjanic yang dihadirkan dengan harga mahal yaitu 41 juta euro (sekitar Rp690 miliar) dan 60 juta euro (sekitar Rp1 triliun).

Sibuk mengincar para bintang, Barcelona melupakan produk akademi sepak bola mereka, La Masia, yang menjadi tulang punggung kesuksesan pada tahun-tahun sebelumnya.

Hasilnya, alih-alih berprestasi, Barcelona justru terpuruk dalam. Yang paling memalukan tentu saja ketika mereka dihantam dengan skor 2-8 oleh Bayern Muenchen di perempat final Liga Champions UEFA musim 2019-2020.

Itu merupakan kekalahan delapan gol pertama Barcelona sejak mereka dikandaskan 1-8 oleh Sevilla pada tahun 1946.

Kondisi buruk itu memaksa Josep Bartomeu Presiden Barcelona kala itu, yang diduga terlibat pula dalam skandal “Barcagate” yakni upaya memoles citra dirinya dan klub di media sosial dengan melibatkan pihak tertentu secara tidak transparan, untuk mengundurkan diri. Akhirnya pada Maret 2021, diadakan pemilihan presiden klub di mana Joan Laporta keluar sebagai pemenang.

Laporta adalah salah satu presiden tersukses klub lantaran dia berhasil membawa Barcelona memenangkan enam trofi juara dalam satu satu musim (2008-2009) saat memegang jabatan tersebut pada tahun 2003-2010.

Total, pada periode pertamanya sebagai Presiden Barcelona, Laporta membawa klub tersebut merengkuh 12 trofi yaitu dua Liga Champions UEFA, empat La Liga, tiga Piala Super Spanyol, satu Piala Super UEFA, satu Copa del Rey dan satu Piala Dunia Antarklub FIFA.

Tugas Laporta tidak mudah karena mesti membersihkan kekotoran yang ditinggalkan rezim Bartomeu. Namun, pelan-pelan, dia membawa Barcelona ke arah yang tepat.

Dua Senjata

Gebrakan pertama Laporta pada masa keduanya menjadi Presiden Barcelona yaitu merekrut eks gelandang andalan timnya Xavi Hernandez menjadi pelatih pada November 2021 menggantikan Ronald Koeman.

Dalam prosesnya, Xavi mempersembahkan dua trofi untuk Barcelona yakni La Liga dan Piala Super Spanyol, selama kariernya sebagai pelatih “Blaugrana” tahun 2021-2024.

Akan tetapi, warisan paling berharga yang ditinggalkan Xavi sejatinya adalah keberaniannya untuk mencuatkan para pemain La Masia ke skuad utama Barcelona, terlepas dari kondisi ekonomi Barcelona yang belum stabil.

Xavi Hernandez
Xavi Hernandez mantan pelatih Barcelona. Foto: Getty Images

​​​​​​​
Xavi memberikan debut untuk 15 pemain jebolan La Masia mulai dari Ilias Akhomach, Ferran Jugtla, Marc Casado, Inaki Pena, Lamine Yamal, Chadi Riad, Marc Guiu, Pau Cubarsi, Hector Fort hingga Fermin Lopez.

Para personel La Masia ini pun menjadi senjata pertama Barcelona dalam persaingannya di persepakbolaan Eropa.

Pada masa Xavi, mereka pelan-pelan mengantongi pengalaman bertanding. Perpaduan dengan jajaran pemain senior seperti Robert Lewandowski, Raphinha dan Frankie de Jong pun semakin mantap.

Kebijakan Xavi Hernandez pun dilanjutkan oleh penerusnya, Hans-Dieter “Hansi” Flick, yang dikontrak Barcelona pada akhir Mei 2024.

Dengan kondisi keuangan klub yang tidak kunjung membaik, juru taktik asal Jerman itu pun turut mempromosikan lulusan La Masia ke tim utama. Sejauh ini, ada tiga pemain asli La Masia yang dinaikkan Flick ke skuad senior yakni Marc Bernal, Sergi Dominguez dan Gerard Martin.

Bukan cuma kesempatan, Hansi Flick memberikan pula kepercayaan penuh kepada alumni La Masia.

Ketika Barcelona menghancurkan Real Madrid dengan skor 4-0 di Stadion Santiago Bernabeu pada laga terakhir mereka di La Liga, Flick menurunkan lima jebolan La Masia sejak menit pertama yakni Lamine Yamal (17 tahun), Pau Cubarsi (17 tahun), Alejandro Balde (21 tahun), Marc Casado (21 tahun), Inaki Pena (25 tahun).

Hasilnya, Lamine Yamal membuat satu gol, yang membuatnya menjadi pencetak gol termuda sepanjang sejarah El Clasico, lalu Alejandro Balde dan Marc Casado masing-masing membuat satu assist.

Cubarsi dan Inaki Pena pun menunjukkan performa impresif membendung para penyerang cepat Madrid yakni Kylian Mbappe dan Vinicius Junior sehingga Barcelona tidak kebobolan satu gol pun.

Di lini pertahanan, para alumni La Masia memperlihatkan pemahaman yang sangat baik terhadap taktik jebakan offside. Itu membuat lini serang Madrid tidak berkutik. Sepanjang laga, Madrid 12 kali terjebak offside, di mana dua di antaranya sempat dijadikan gol oleh Mbappe sebelum dianulir wasit.

Kekompakan pemain di garis pertahanan tinggi dengan strategi offside inilah senjata kedua Barcelona musim ini. Selain Madrid, satu dari beberapa korban lainnya dari strategi tersebut adalah klub raksasa Jerman Bayern Muenchen yang dihajar 4-1 di Liga Champions UEFA 2024-2025, Kamis (24/10) dini hari WIB.

Offside

Tidak memiliki bek yang superior di adu fisik, katakanlah seperti Jerome Boateng dan Alaba di klubnya terdahulu Bayern Muenchen, Hansi Flick memanfaatkan kecerdasan para beknya untuk membangun sebuah benteng yang efektif.

Caranya adalah dengan membangun garis pertahanan tinggi dan menjebak lawan dengan offside.

Laman statistik Opta menyebut, Barcelona rata-rata membuat garis pertahanan sejauh 34,6 meter dari gawang mereka, bahkan ESPN mencatat Barcelona bisa bertahan 51 meter dari gawang atau nyaris setengah lapangan.

Strategi tersebut tentu sangat berisiko jika Barcelona tidak memiliki barisan bek yang memiliki kecerdasan permainan di atas rata-rata.

Itu artinya, Flick mengenal betul kelebihan para pemainnya. Dua bek tengah andalannya, misalnya, yakni Pau Cubarsi dan Inigo Martinez merupakan tipe bek yang “mikir”. Mereka doyan mendistribusikan bola dari belakang, tidak buru-buru membuang bola ke depan tanpa tahu mau mengarahkannya ke mana.

Hansi Flick melatih FC Barcelona selama pertandingan Liga Champions melawan Bayern Munchen pada 23 Oktober 2024. Foto: Getty Images

Laman statistik Fotmob menyatakan, Pau Cubarsi, yang tidak asing dengan pola permainan operan pendek, cepat, plus penempatan posisi yang tepat selama menjaring ilmu di La Masia, melepaskan 43 umpan berhasil dari 47 percobaan atau memiliki akurasi 91 persen saat Barcelona bersua Real Madrid. Dia bahkan delapan kali mengirimkan bola ke sepertiga pertahanan lawan.

Sementara Inigo Martinez mempunyai persentase umpan 83 persen atau 34 sukses dari 41 upaya operan. Eks pemain Real Sociedad dan Athletic Bilbao itu mampu pula mengkreasikan satu peluang dari tiga operan yang dibuatnya ke sepertiga pertahanan Real Madrid.

Keberhasilan umpan 85-90 persen juga ditorehkan Alejandro Balde bek kiri dan Jules Kounde bek kanan Barcelona.

Dengan bek-bek yang lebih banyak memanfaatkan otak daripada fisiknya, Hansi Flick mampu meramu strategi jebakan offside-nya dengan sangat apik.
​​​​​​​
Opta menyatakan, Barcelona rata-rata membuat tujuh jebakan offside per laga berhasil pada musim 2024-2025, sampai Oktober 2024, dan itu menjadi yang tertinggi di antara klub-klub lain di lima liga teratas Eropa sejak musim 2017-2018, masa di mana wasit berbantuan video (VAR) mulai diterapkan di Eropa.

Jumlah tersebut sangat tinggi karena kalau dibandingkan di posisi kedua, Aston Villa “hanya” sukses melakukan rata-rata 4,39 kali jebakan offside per pertandingan pada musim 2023-2024.

Apa yang diperlihatkan Barcelona seakan menjadi peringatan bahaya bagi lawan-lawannya baik di Spanyol, Eropa bahkan dunia.

Akan tetapi, sudah pasti masih ada tugas rumah bagi Hansi Flick di Barcelona. Juru taktik yang membawa Bayern Muenchen menjuarai enam kompetisi selama musim 2020-2021 itu harus menjaga kebugaran para pemainnya.

Berikutnya, dan mungkin yang terpenting dan tersulit, adalah mempertahankan konsistensi. Dan, untuk itu, waktu yang akan memberi bukti. (ant/bil/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 24 November 2024
31o
Kurs