Gabriela Meilani Moningka Pebulu tangkis Papua mendadak dikerubungi panitia dan sukarelawan yang memintanya untuk berfoto bersama seusai ia menerima medali perunggu pada upacara penyerahan medali bulu tangkis tunggal putri di GOR Waringin, Jayapura, Rabu (13/10/2021).
Ia dengan sabar meladeni para relawan dan panitia di arena bulu tangkis yang bergantian ingin berswafoto dengannya. Meski tertutupi masker, sorot mata Gabriela tetap terlihat menunjukkan kebahagiaan.
Gabriela pantas menjadi “ratu” sehari walaupun hanya meraih perunggu. Ia telah mencatatkan sejarah dalam olahraga bulu tangkis di ajang PON. Papua dan Bali menjadi provinsi yang berhasil menaiki podium di tengah dominasi jagoan bulu tangkis provinsi-provinsi di Pulau Jawa.
Gabriela memang bukan orang asli Papua. Ia lahir di Manado, Sulawesi Utara. Saat masih bayi, ia diboyong oleh orang tuanya yang harus dinas bekerja ke Jayapura.
Meski bukan orang asli Papua, perempuan berusia 22 tahun itu juga bukan pemain kontrak yang secara khusus disewa untuk tampil PON. Namun dia mempunyai kenangan karena pernah lama tinggal di Papua.
Gabriela sejak kecil sudah menyukai olahraga bulu tangkis. Ia bertekad untuk menjadi seorang atlet. Demi mewujudkan impiannya, orang tuanya pun membawa dia ke Jakarta pada 2007 silam dengan menempuh perjalanan laut yang memakan waktu sampai satu pekan.
Pada usia delapan tahun, seperti yang dilansir Antara, Gabriela mulai mengikuti seleksi agar bisa bergabung dengan klub bulu tangkis hingga akhirnya dia bergabung dengan klub asal Banjarmasin, PB Berkat Abadi, yang pelatihannya digelar di Jakarta.
Setelah bertahun-tahun tinggal di Jakarta, Gabriela kembali ke Jayapura, Papua, tempat dia dibesarkan. Ia kembali ke Papua untuk memperkuat tim tuan rumah dalam ajang PON 2021.
Meski hanya mempunyai waktu latihan bersama tim tiga bulan menjelang PON, Gabriela menjadi bagian dari sejarah olahraga bulu tangkis Tanah Air.
Gabriela bersama rekannya, Asty Dwi Widyaningrum dan Brigita Marcelia Rumambi untuk pertama kalinya mempersembahkan medali perunggu pada nomor beregu putri, yang selama ini selalu didominasi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Keempat provinsi tersebut saling bergantian merengkuh gelar juara.
Dari tiga pertandingan yang dilakoninya, Gabriela menjadi pemain yang paling banyak tampil sampai enam kali, baik di nomor tunggal maupun ganda.
Pada nomor tunggal, Gabriela mengantongi tiga kemenangan dengan mengalahkan dua pemain unggulan, yaitu Agatha Imanuela (Jawa tengah) dan Aurum Oktavia Winata (DKI Jakarta).
Sementara pada nomor ganda, ia dan Brigita hanya meraih satu kemenangan saat menghadapi pasangan Maluku Utara Chairunnisa Abd. Mutahlib/Sarah Daisy Theresia C. Rambitan.
Sementara itu, dalam perjalanannya meraih perunggu dari nomor tunggal putri, Gabriela memenangi tiga dari empat laga yang dijalaninya.
Salah satu kemenangan yang mengejutkan adalah ketika dia berhasil menjungkalkan unggulan teratas dari DKI Jakarta yang juga penghuni pelatnas, Ruseli Hartawan pada babak perempat final. Dalam duel yang berlangsung hampir satu jam itu, Gabreila menang usai melewati drama rubber game yang berakhir dengan skor 12-21, 21-14, 21-19.
Sayang, langkahnya harus terhenti pada babak semifinal usai ditumbangkan unggulan keempat dari Jawa Barat yang juga peraih emas tunggal putri PON Papua, Saifi Riska Nurhidayah.
Meski gagal melaju ke final, Gabriela patut bangga karena telah menggoreskan sejarah baru dalam olahraga bulu tangkis di Tanah papua.
Ia pun berharap capaian tersebut dapat menjadi suntikan semangat atlet-atlet muda serta pemerintah provinsi Papua untuk tidak melulu memperhatikan sepak bola, tetapi mulai melirik olahraga bulu tangkis, yang tak pernah absen membanggakan bangsa di ajang internasional.
Lebih jauh daripada itu, pemerintah provinsi setempat juga diharapkan dapat mulai serius dan konsisten dalam melakukan pembinaan atlet-atlet muda di Papua.
“Sebenarnya banyak pemain yang ingin menjadi atlet bulu tangkis, tetapi kurang dukungan saja dari pemerintah. Jadi anak-anak di sini lebih memilih untuk menjadi pesepak bola karena yang terkenal juga di Papua kan sepak bola,” kata Gabriela.
Sebetulnya sudah ada beberapa atlet asal Papua yang kini bergabung bersama pelatnas PBSI di Cipayung, Jakarta. Selain Asty Dwi Widyaningrum, ada pula Chico Aura Dwi Wardoyo dan Ester Nurumi Tri Wardoyo.
Dengan medali perunggu tunggal putri, Gabriela berharap dapat menyusul rekan-rekannya dipanggil bergabung ke Cipayung dan mengangkat prestasi bulu tangkis sektor tunggal putri Indonesia.
“Saya sangat berminat masuk pelatnas karena dari diri sendiri saya masih mempunyai semangat untuk maju terutama di sektor tunggal putri yang masih kurang. Jadi saya berharap apabila ada peluang, saya akan maskimal,” tuturnya.
Manfaatkan GOR Waringin
Selain raihan perunggu, Papua juga mempunyai fasilitas yang mendukung guna melahirkan talenta-talenta muda berprestasi.
Gedung Olahraga (GOR) Waringin yang terletak di pusat kota Jayapura memiliki empat lapangan bulu tangkis dan dapat menampung hingga 5.000 penonton.
Mimi Irawan Ketua Bidang Kompetisi Nasional PBSI menilai bahwa dengan fasilitas yang ada, GOR Waringin bisa digunakan sebagai arena pertandingan level nasional, seperti kejurnas maupun Sirkuit Nasional (sirnas).
Mimi mengatakan dirinya sudah berbicara dengan Wali Kota Jayapura Benhur Tommy Mano agar GOR Waringin dapat tetap terjaga dan dimanfaatkan dengan baik guna melahirkan atlet bulu tangkis di Papua.
Gabriela pun berharap dengan adanya GOR Waringin pemerintah daerah dan PBSI pengprov Papua dapat mulai memberikan perhatian untuk meningkatkan sistem pembinaan sehingga dapat melahirkan atlet asli daerah yang bisa membela Papua di ajang PON bahkan di ajang-ajang internasional lainnya.
“Saya berharap Papua memiliki bibit-bibit baru orang asli Papua sehingga di PON empat tahun mendatang memunculkan wajah-wajah orang asli Papua. Semoga ini jadi awal yang baik untuk menambah semangat para atlet,” tutup dia.(ant/tin/ipg)