Oleh: Ayub Syafii
Tadinya mereka tidak terlalu risih dengan kehadiran ibu tua itu. Sebagai seorang anak yang merasa dilahirkan dari rahim ibunya, Hasan tidak tega membiarkan ibunya hidup terpisah semenjak bapak Hasan meninggal. Istrinya juga tidak keberatan, apalagi perempuan itu merasakan besar kegunaan mertunya di rumah. Ibu itu masih bisa membantu-bantu pekerjaan rumah tangganya sehingga tertolong sedikit meskipun dia tidak punya pembantu.
Namun semenjak hamilnya makin besar dan dilihatnya si ibu mertua tambah mendecing-decing batuknya, dadanya kian kempis dan pernah memuntahkan darah, Nazulah mulai bingung. Kalau ibu yang sakit paru-paru itu tidak segera diungsikan, maka ia kuatir penyakitnya akan menular dan membahayakan anaknya yang bakal lahir.
Maka, setelah merasa hampir dekat melahirkan, Nazulah berkata kepada sauminya,”Bang, sakit ibu ternyata penyakit menular. Jadi kita harus mencarikan jalan supaya anak kita jangan bergaul dengannya.”
Hasan kaget mendengar bicara istrinya. “Maksudmu?”
“Kita harus berpisah dari Ibu,” jawab Nazulah.
Hasan termenung mendengar permintaan istrinya. Sebetulnya ia merasa berat terhadap ibunya, namun karena Nazulah mendesak terus, dan ia menganggap alasan istrinya cukup kuat, terutama demi anak mereka, maka Hasan membuat sebuah gubuk kecil di pekarangan belakang rumah. Dengan perasaan yang masygul ia menyuruh ibunya pindah, tinggal di gubuk itu.
Ibu itu adalah seorang mertua dan nenek yang baik. Ia tahu diri. Ia menganggap umurnya adalah sisa-sisa kesenangan hidup yang pernah dinikmatinya. Maka tanpa sedih sedikit pun ia pindah ke gubuk itu.
Mula-mula segala kebutuhan perempuan tiu masih diperhatikan sekali. Namun, sesudah anak mereka semakin besar, Hasan dan istrinya hanya mengingat Maqbulah, anaknya. Seluruh perhatiannya cuma ditumpahkan kepada anak yang manis dan pintar itu.
Sampai nasib ibu tua yang di gubuk itu sering terlantar. Piring dan gelas buat makan atau minumnya sudah lama pecah, tapi Nazulah lupa menggantinya dengan yang lain. Sehingga untuk makan dan minumnya si nenek terpaksa mencari tempurung kelapa.
Adapun Nazulah sama sekali melarang anak-nya dekat-dekat dengan gubuk yang terdapat di belakang rumah. Dalam usia tiga tahun itu Maqbulah tidak tahu bahwa yang tinggal di gubuk tersebut adalah neneknya sendiri. Sebab ia akan dimarahi oleh bapak dan ibunya kalau bermain-main mendekati tempat itu.
Namun pada suatu hari Maqbulah berhasil menyelonong ke sana, karena kebetulan hari itu bapak dan ibunya tidak dirumah. Dengan mengendap-endap ia mengintip melalui lubang pintu. Dilihatnya ada seorang perempuan tua sedang duduk di atas dipan rombeng. Rambutnya putih semua, dan badannya bungkuk.
Dasar Maqbulah seorang anak yang berani, menyaksikan pemandangan itu bukannya takut, malah dia gembira. Dengan mulutnya yang kecil itu ia memanggil-manggil. “Nek, nenek tua, bukakan pintu, Nek.”
Alangkah gembiranya wajah nenek itu di dalam gubuknya. Tiba-tiba darah segar membersit memerahkan warna mukanya. Matanya bersinar lantaran suara itulah yang selama ini dirindukannya. Sambil terseok-seok ia berjalan ke pintu, lantas dibukanya.
“Siapa kamu, Nak?” tanya nenek itu.
“Bulah, ” jawab si gadis kecil.
“Oh, cucuku. Di mana bapak dan ibumu?”
“Pergi,” sahut Maqbulah.
“Pergi ke mana?” tanya si nenek tambah gembira.
“Jauh,” jawab Maqbulah.”Saya ingin masuk, Nek.”
Betapa bahagianya nenek itu dapat menggandeng cucunya memasuki gubuk tersebut. Hingga tengah hari Maqbulah bermain-main di situ. Rupanya anak kecil itu haus. Ia merengek kepada neneknya, “Nek minum.”
Si nenek mengambil tempurung kelapa. “Nenek tidak punya gelas. Nenek hanya punya ini buat minum.”
Gadis cilik itu heran. “Memang Nenek ini siapa sih, tidak punya gelas?”
“Aku adalah nenekmu, ibu dari bapakmu.”
“Kenapa tidak punya gelas?”
“Orang tua tidak boleh pakai gelas.”
Demikianlah, ketika sudah puas bermain-main di situ, Maqbulah permisi pulang. Untung waktu itu Hasan dan istrinya belum kembali. Jika sudah, pastilah si nenek yang akan dimarahi. Peristiwa itu sudah dua hari terjadi tatkala mereka bertiga berjalan-jalan melihat kota.
Pada suatu tempat di pinggir jalan, ada selokan kotor. Di dalam selokan tersebut ada sebuah tempurung kelapa yang tersangkut di pinggir. Melihat tempurung ini Maqbulah memaksa-maksa minta diambilkan. Setelah Hasan mengambil tempurung itu dan dibersihkannya, Nazulah bertanya kepada anaknya,”Buat apa Bulah minta tempurung?”
Tanpa berpikir si cilik menjawab, “Bakal tempat minum Ibu kalau sudah tua, kan orang tua tidak boleh memakai gelas.” Terkejut Hasan dan istrinya mendengar jawaban ini.
Mereka bertanya,”Mengapa begitu?”
Maqbulah menjawab,”Nenek Bulah yang tinggal di gubuk itu juga dikasih makan dan minum pakai tempurung. Entar kalau Bulah sudah gede dan Ibu sudah tua, Bulah akan kasih tempurung buat ibu, dan dibikinkan gubuk jelek buat tidur Ibu.”
Mendengar jawaban ini sadarlah Hasan dan Nazulah akan kelakuan mereka. Tiba-tiba mereka takut akan ancaman Allah bagi anak-anak yang durhaka. Maka semenjak itu berubahlah sikap mereka terhadap orang tuanya. Diajaknya nenek itu berkumpul kembali bersama mereka di dalam rumah yang terhormat, sambil diberi perawatan dan pengobatan agar penyakitnya sembuh.
Dengan demikian terhindarlah keluarga itu dari malapetaka di belakang hari kalau sampai mereka tidak berhenti dari perlakukan durhaka terhadap orang tua sendiri. Dan yang menyadarkan mereka justru seorang anak kecil yang manis, sebab anak kecil ini telah didik dengan akhal yang baik dengan ajaran agama. Berarti agamalah sebetulnya penyelamat yang pasti bagi kehidupan agar senantiasa sejahtera.(ipg)