Oleh: Azam Eko Prasetyo
“Dari Anas bin Malik RA. berkata : Nabi Muhammad di sisi (belakang) seorang perempuan yang sedang menangisi sebuah kuburan (kuburan anaknya.
(Melihat) hal itu Rosululloh bersabda padanya : “Bertakwalah kepada Alloh dan bersabarlah.” (Mendengar nasehar tersebut) dia berujar (tanpa melihat ke belakang) : “Pergi kamu dari sisi. (Enak saja kamu berbicara ) karena kamu tidak tertimpa musibah seperti aku ini.”
Tanpa mengetahui bahwa yang memberikan nasehat adalah Rosululloh. Setelah dikabarkan kepada perempuan tersebut bahwa yang beerbicara itu adalah Rosululloh SAW, maka (dengan wajah penuh ketakutan) dia mendatangi Rosululloh di rumahnya yang tanpa penjaga, seraya berkata: (Ma’af Ya Rosululloh) saya tidak tahu (bahwa yang berbicara ) itu adalah engkau.” Maka Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya (hakekat) kesabaran adalah pada tatapan pertama (musiobah itu terjadi).” (H.R. Bukhori)
Ash-Shodmah al ula, itulah kata kunci dari inti kesabaran dan dasar hakiki yang menentukan seseorang itu sabar atau tidak. Kesabaran adalah sikap pertama yang dimunculkan ketika tertimpa musibah atau masalah dengan sikap yang terbaik, tenang dan tidak emosional.
Maka ketika seorang ibu melihat anaknya memecahkan piring kesayangannya, langsung marah-marah, memaki anaknya dan berkata, “kenapa tidak hati-hati ?” atau “Kenapa tidak pakai piring plastik saja ?” dan lain, lain, maka ibu tersebut tidak dapat dikatakan sabar.
Meskipun setelah itu ia sadar bahwa apa yang dilakukannya tidak akan dapat mengembalikan piring yang terlanjur pecah menjadi utuh kembali.
Begitu pula dengan ilustrasi berikut. “Mas, sepeda motormu hilang!”. Seseorang menginformasikan kehilangan itu pada pemiliknya. Maka sang pemilik pun terkejut seraya berkata, “Ha!, ya Robbi sepeda motor itu baru kubeli seminggu yang lalu. Aku harus pake apa ke kantor?”.
Kemudian ia bergumam, “Aduh betapa bodohnya aku telah meminjamkan sepeda motor itu ke dia.” Dan kemudian kata-kata penyesalan terus meluncur dari mulutnya. Itu juga belum termasuk orang sabar. Meskipun setelah dia bertawakal kepada Alloh dan meyerahkan urusannya ke polisi.
Jadi, orang yang sabar adalah orang yang ketika melihat piring kesayanggannya pecah dia berdzikir dengan kata-kata innalillahi wa innailaihi roji’un. Kemudian mengingatkan anaknya dengan kata-kata yang lembut untuk lebih berhati-hati jika ingin megambil piring atau jika perlu meminta bantuan ibunya.
Demikian juga orang yang sabar jika dia dengan tenang mengucap innalillahi wa innailaihi roji’un ketika mendengar sepedanya hilang. Dan selanjutnya mengambil langkah-langkah penting untuk menemukannya kembali.
Sedih, menangis dan perasaan lain yanag mengikuti ketika terjadinya musibah atau masalah adalah suatu yang wajar dan tidak menganulir kesabaran seeorang. Yang tidak wajar adalah jika perasaan-perasaan itu memunculkan sikap protes pada Alloh serta perilaku yang tidak syar’i. Misalnya jadi malas beribadah, tidak peduli denagn kehidupannya, atau bahkan bunuh diri. Hal-hal semacam inilah yang membuatnya tidak tergolong sebagai orang sabar.
Oleh karena itu untuk menjadi orang yang sabnar perlu memperhatikan beberapa hal:
Pertama, selalu berdzikir atau mengingat Alloh ketika musibah menimpanya. Dengan meyakini bahwa segalanya adalah milikNya. Kita hanya mendapat titipan saja, sedangkan sang pemilik sejati adalah Alloh sang penguasa alam ini.
Maka terserah kepada pemiliknya kapan titipan itu mau diambil kembali. Itu yang harus kita yakini dalam hati kita sebagaimana firman Alloh dalam QS.AlBaqoroh:156.
Kedua, meyakini dalam Qolbu bahwa segala sesuatu pasti ada ajalnya pasti berakhir, seperti berakhirnya malam ketika muncul matahari pagi. Seperti berakhirnya siang ketika sang surya tenggelam ke peraduannya. Segala yang ada di jagad raya niadalah fana. Kecuali Alloh yang memiliki keagungan dan kemulyaan seperti disebutkan dalam QS>Arrohman:36.
Maka saat nusibah menimpa kita, yakinilah bahwa itu tidak akan lama. Sehingga kita tidak perlu kawatir. Demikian pula sebaliknya jika kita mendapatkan kebahagiaan yakinilah bahwa itu semua bisa berakhir dan meninggalkan kita. Sehingga tidak perlu ada pertanyaan “Kenapa pecah? “Kenapa hilang?” “Kenapa terbakar?” karena jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menimbulkan pertanyaan yang sama lagi dan seterusnya.
Cobalah kita selalu bersama (shuhbah) dengan orang-orang yang sabar dan sholeh karena itu kan mempengaruhi keppribadian kita. “Ya, Alloh jadikanlah kami Al Kayyis.”(ipg)