Oleh: Ayub Syafii
Ketika gempa mengguncang sebuah daerah dan hampir seluruh penghuninya binasa, salah seorang yang selamat bertanya kepada Imam Abu Laits, “Mengapa malapetaka menimpa kami, wahai Tuan Guru? Padahal masyarakat kami sebagian besar beriman kepada Alloh?”
“Karena kalian telah menikahi mayat-mayat, dan anak-anak kalian dilahirkan dari rahim mayat-mayat,” jawab Abu Laits dengan pedih.
“Saya tidak paham, Tuan Guru. Terangkanlah.”
Abu Laits lalu membacakan surah An-Nur ayat 2 dan menjelaskan, “Kaum perempuan di kampungmu adalah para pezina. Dan tidak patut orang-orang beriman menjadikan mereka sebagai istrinya. Sebab, yang pantas mengawini perempuan pezina hanya lelaki pezina juga, atau orang musyrik. Lihatlah apa yang berlangsung di daerahmu sebelum gempa terjadi. Mereka, meskipun sudah menjadi istri yang sah, masih tetap melakukan kegemarannya, berzina dengan lelaki mana saja yang mereka minati.”
“Tapi mengapa Tuan katakan, mereka adalah mayat-mayat?”
“Bacalah surah An-Nur ayat sebelumnya. Para pezina yang tidak mau bertobat dari dosanya wajib dihukum dera seratus kali. Dan orang-orang yang telah menikah, tetapi masih melakukan zina, harus dihukum rajam sampai mati. Bukankah artinya istri-istri kalian adalah mayat-mayat? Sebab, setelah berkeluarga, mereka masih juga menjalankan dosa besar itu? Hukuman rajam tersebut telah dijelaskan oleh Umar bin Khattab dalam salah satu pidato kenegaraannya sesudah beliau diangkat menjadi khalifah.”
Lelaki yang dalam musibah gempa itu telah kehilangan istri dan anak-anaknya tadi merenung lama, lantas bertanya, “Andaikata ada daerah lain yang seperti itu, apakah Alloh juga akan menghukumnya?”
“Tidak,” jawab Abu Laits. “Merekalah yang menghukum diri sendiri. Kecuali jika mereka berhenti dari perbuatan zinanya. Sebab tiada dosa yang tak diampuni selain menyekutukan Alloh. Dan ia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Peringatan ini sudah bergaung sejak beradab-abad yang lalu. Dan tiap kali malapetaka turun beruntun, seharusnya masing-masing kita memandang ke dalam dan bertanya, apakah aku termasuk salah satu penyebabnya?
Itulah yang diharapkan Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq pada waktu ia berkata: “Hitung-hitunglah dirimu sebelum kalian diperhitungkan.”
Memang, pada hakikatnya, Tuhan Yang Pengasih hanya menebarkan rahmat dan karunia, bukan bencana dan luapan murka. Adalah manusia sendiri yang telah berbuat aniaya sehingga mereka layak mendapat siksa.
Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Alloh berfirman:
“Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan karena ulah tangan-tangan manusia juga supaya mereka merasakan sebagian kecil dari akibat perbuatan mereka itu. Mudah-mudahan mereka mau kembali (ke jalan Alloh).”
Celakanya, macam-macam ulah manusia yang bsia mengundang datangnya bencana. Antara lain ialah jika keadilan terbengkalaikan, dan kelaliman merajalela seperti tatkala seorang gadis ningrat tertangkap basah mencuri seuntai kalung emas. Namanya Fathimah al Mahzumi, kemenakan Panglima Khalid bin Walid. Para sahabat berniat mendiamkan saja kasus itu atas pertimbangan yang “manusiawi”, kalau-kalau keluarganya yang bermartabat tinggi itu malu dan jatuh pamornya.
Tatkala Rasululloh saw. mendengarnya, beliau marah bukan kepalang dan bersabda: “Sesungguhnya Alloh telah menghancurkan umat sebelum kalian sebab, bila di antara mereka ada tokoh terhormat mencuri, dibiarkan saja; tetapi, kalau rakyat kecil yang melakukannya, ia dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.”
Bencana juga akan menimpa apabila masyarakat telah terbius oleh kemewahan harta sampai berkecamuk persaingan dan sikut menyikut tanpa tenggang rasa.
Alkisah, Abu Ubaidah bin Jarrah baru pulang dari Bahrain membawa hasil pajak penduduk setempat untuk dibagikan kepada masyarakat Madinah sebagai imbalan pemerintah pusat yang melindungi dan menjaga keamanan negeri Bahrain. Hasil pajak itu lalu diserahkan kepada Rasululloh yang akan membagikannya secara adil.
Berita ini dengan cepat tersebar di segenap pelosok Madinah. Maka pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya, masyarakat sudah berduyun-duyun mendatangi masjid Nabawi untuk menunaikan sholat subuh bersama Nabi.
Selesai shalat, Nabi berdiri dan dengan trenyuh berkata, “Aku sudah menduga, yang berjamaah pagi ini pasti jauh lebih banyak dari kemarin karena kalian telah mendengar kedatangan Abu Ubaidah dengan membawa harta yang besar jumlahnya.”
Masyarakat tertunduk malu. Kebisuan mereka menunjukkan tuduhan Rasululloh memang benar, bahwa kedatangan mereka ke masjid bukan bertujuan ikhlas hendak beribadah, melainkan karena mengharapkan pembagian harta.
Melihat perubahan sikap itu, Rasululloh lantas bersabda: “Bergembiralah kalian, dan renungkanlah apa sesungguhnya yang menyebabkan kalian bergembira demi Allah. Bukan kemiskinan kalian yang mengkhawatirkan perasaanku. Sebaliknya, aku justru ngeri seandainya kemewahan dunia telah kalian peroleh, sebagaimana pernah dialami oleh umat sebelum kalian. Maka pada waktu itu kalian akan saling mementingkan diri sendiri, seperti juga diperbuat oleh mereka. Lalu sifat itu akan menghancurkan kamu, sama halnya dengan sifat yang serupa telah membinasakan mereka.” (ipg)