Jumat, 18 April 2025

Yusril: Pidana Mati Bersifat Khusus dan Penerapannya Hati-hati

Laporan oleh M. Hamim Arifin
Bagikan
Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Foto: Antara

Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Imipas) menegaskan, pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru tidak dihapuskan.

Kata Yusril, hukuman mati ditempatkan sebagai sanksi pidana bersifat khusus dan dijatuhkan serta dilaksanakan secara sangat hati-hati.

“Bagaimanapun hakim dan Pemerintah merupakan manusia biasa yang bisa saja salah dalam memutuskan,” ujar Yusril ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (9/4/2025).

Pendekatan kehati-hatian tersebut, lanjut Yusril, berasal dari penghormatan terhadap hak hidup sebagai anugerah Tuhan Yang Mahakuasa. Oleh karena itu, pidana mati hanya dijatuhkan untuk berbagai kejahatan berat tertentu dan tidak boleh dilaksanakan tanpa pertimbangan mendalam.

Menurut dia, jika suatu kesalahan terjadi dalam menjatuhkan dan melaksanakan pidana mati, konsekuensinya tidak dapat diperbaiki.

Karena, orang yang sudah dihukum mati tidak mungkin dihidupkan kembali. Sehingga, kehati-hatian merupakan prinsip yang mutlak.

Maka dari itu, dalam KUHP terbaru, Yusril menyebut pidana mati tidak serta-merta dilaksanakan setelah putusan pengadilan. Tapi, hanya dapat dieksekusi setelah permohonan grasi terpidana ditolak oleh Presiden.

Dengan begituz permohonan grasi atas penjatuhan pidana mati wajib dilakukan, baik oleh terpidana, keluarga, maupun penasihat hukumnya, sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Yusril mengungkapkan, Pasal 99 dan 100 UU Nomor 1/2023 tentang KUHP memberi ruang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun.

“Apabila selama masa itu terpidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, Presiden dapat mengubah pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup,” ucap Yusril, dilansir dari Antara.

Kemudian, Yusril menambahkan, jaksa juga diwajibkan oleh KUHP untuk mengajukan tuntutan hukuman mati disertai alternatif hukuman jenis lain, misalnya hukuman seumur hidup, untuk dipertimbangkan majelis hakim.

Yusril tidak menampik Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI harus menyusun Undang-Undang tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 102 KUHP terbaru.

Walau begitu, secara substansi ketentuan mengenai pidana mati sebagai pidana khusus telah dirumuskan secara tegas dalam Pasal 64 huruf c serta Pasal 67 dan 68 KUHP terbaru.

Terkait dengan perdebatan seputar HAM, Yusril menyatakan sikap terhadap pidana mati sangat bergantung pada tafsir filosofis tentang hak hidup.

Beberapa agama pada masa lalu, menurut dia, mungkin membenarkan pidana mati berdasarkan doktrin dan hukum agama tersebut. Namun, dalam perkembangan teologis masa kini, ada pula tafsir baru yang menolak pidana mati.

KUHP terbaru, sambung dia, mengambil jalan tengah antara berbagai pendekatan. Pidana mati dikenal dalam Hukum Pidana Islam, hukum pidana adat, maupun dalam KUHP warisan Belanda.

Yusril menghormati hukum yang hidup atau the living law dalam masyarakat. Oleh karena itu, pihaknya tidak menghapuskannya, tetapi merumuskan pidana mati sebagai upaya terakhir, yang pelaksanaannya dilakukan dengan penuh kehati-hatian.(ant/bel/rid)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

BMW Tabrak Tiga Motor, Dua Tewas

Motor Tabrak Belakang Suroboyo Bus

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Surabaya
Jumat, 18 April 2025
25o
Kurs