
Warga Palestina di Jalur Gaza menyambut bulan suci Ramadan di antara reruntuhan bangunan dan kelaparan, akibat 16 bulan perang tanpa henti yang telah mengubah daerah kantong itu menjadi zona bencana.
Sebelum perang, jalan-jalan di Gaza menjadi hidup dengan panggilan untuk shalat yang menandai datangnya Ramadan. Pasar-pasar dihiasi dengan lampu-lampu perayaan dan anak-anak melafalkan ayat-ayat Al Quran.
Sekarang, tradisi itu hanya tinggal kenangan. Suara adzan tenggelam oleh tangisan para korban, sementara pasar yang dulu ramai kini hanya tinggal tumpukan puing.
Setiap sudut Gaza menyimpan luka-luka perang dengan banyak rumah, masjid, dan sekolah hancur.
Namun, meskipun mengalami penderitaan luar biasa, warga Palestina di Gaza tetap berupaya melestarikan tradisi Ramadan mereka.
Di antara reruntuhan, lentera-lentera digantung, dan mural-mural warna-warni dilukis di dinding-dinding yang hancur, sebagai upaya untuk menghadirkan secercah harapan di antara kenyataan yang suram.
“Kami menciptakan kehidupan dari warna-warna,” kata seorang pemuda yang menghiasi jalan-jalan, kepada kantor berita Anadolu yang dilansir Antara (1/3/2025).
“Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan. Kami menyambut Ramadan dengan harapan bahwa Ramadan akan membawa kedamaian dan keamanan.”
Di Khan Younis, Gaza Selatan, seorang pria Palestina berdiri di kiosnya yang menjual Qatayef, kue kering tradisional Ramadan yang menjadi makanan pokok ketika berbuka puasa.
“Suasana tahun ini adalah yang tersulit yang pernah kami alami,” katanya kepada Anadolu.
“Tidak ada kegembiraan, tidak ada perayaan. Pada tahun-tahun sebelumnya, genderang akan bergema di jalan-jalan, dekorasi digantung, dan kebahagiaan akan terasa. Tetapi hari ini, semuanya berbeda.”
“Ini adalah tahun tersulit yang pernah kami lalui. Orang-orang telah bangkit dari bawah reruntuhan rumah mereka yang hancur, berduka atas kehilangan orang yang mereka cintai. Semua orang dalam keadaan berduka,” ujarnya, menambahkan.
Ramadan di Gaza kali ini tidak seperti sebelumnya. Pertemuan keluarga yang dulu menjadi ciri khas bulan suci kini dibayangi oleh kesedihan, karena puluhan ribu orang berduka atas orang-orang terkasih yang hilang dalam perang.
Hingga Kamis (27/2/2025) lalu, Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan bahwa jumlah korban tewas bertambah menjadi 48.365 sejak 7 Oktober 2023.
Bantuan makanan langka, dan persediaan terbatas yang masuk ke Gaza melalui pedagang harganya jauh melampaui apa yang mampu dibeli oleh banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian mereka.
“Lebih dari dua juta orang menghadapi kekurangan pasokan makanan pokok. Harga telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, membuat kelangsungan hidup sehari-hari menjadi semakin sulit,” kata Ismail Al-Thawabta, direktur jenderal Kantor Media Pemerintah Gaza, kepada Anadolu.
“Puluhan ribu orang yang mengungsi tinggal di kamp-kamp yang bahkan tidak memiliki kebutuhan paling mendasar,” ujarnya, menambahkan.
Air bersih menjadi kemewahan yang langka, membuat persiapan makanan sederhana menjadi tantangan tambahan bagi mereka yang menjalankan puasa.
Banyak yang terpaksa bergantung pada kayu bakar dan kertas untuk memasak, karena peralatan memasak modern tidak tersedia.
Stephane Dujarric Juru bicara PBB mengakui tantangan besar dalam mengirimkan bantuan ke Gaza.
Berbicara pada konferensi pers, Selasa (25/2/2025), ia membahas kematian enam bayi baru lahir karena pembatasan bantuan kemanusiaan meskipun gencatan senjata telah disepakati.
Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, bayi-bayi itu meninggal dunia karena paparan udara musim dingin.
Pembatasan bantuan juga mencegah masuknya 200.000 tenda dan 60.000 rumah mobil untuk warga Palestina yang mengungsi.
Fakta ini melanggar perjanjian gencatan senjata yang mulai berlaku pada 19 Januari antara kelompok perlawanan Palestina, Hamas dan Israel.
Setiap bagian Jalur Gaza menceritakan kisah kehancuran. Lingkungan yang dulunya berkembang pesat kini hancur menjadi puing-puing, sementara penduduknya terbunuh, mengungsi, atau terpaksa berjuang untuk bertahan hidup.
Namun, terlepas dari semua itu, warga Palestina tetap bertekad untuk menjalankan ibadah Ramadan.
Salat Tarawih akan diadakan di antara reruntuhan, dan doa akan dikumandangkan dari sisa-sisa masjid yang hancur.
Minggu lalu, Kementerian Agama di Gaza mengumumkan bahwa 1.109 dari 1.244 masjid di daerah kantong itu telah hancur total atau sebagian selama perang.
Lebih dari 1,5 juta dari 2,4 juta penduduk Gaza mengungsi secara paksa karena kerusakan yang meluas akibat serangan Israel.
Gencatan senjata dan perjanjian pertukaran tahanan telah berlaku sejak bulan lalu, yang menghentikan sementara perang genosida Israel, yang telah menghancurkan Gaza dan merenggut nyawa lebih dari 48.360 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. (ant/kak/bil/faz)