Merayakan Hari Pendidikan Internasional yang jatuh pada Jumat, (24/1/2025), UNESCO mengajak negara anggota berinvestasi dalam pelatihan guru dan siswa guna menjawab tantangan teknologi.
Audrey Azoulay Direktur Jenderal UNESCO menetapkan perayaan Hari Pendidikan Internasional 2025 sebagai momen untuk menyoroti peluang dan tantangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).
Diadakannya pelatihan bagi guru dan siswa, selain untuk berinvestasi tapi juga memastikan mereka bisa memanfaatkan teknologi ini secara bertanggung jawab dalam dunia pendidikan.
“Kecerdasan buatan menawarkan peluang besar bagi pendidikan, asalkan penerapannya di sekolah didasarkan pada prinsip etika yang jelas. Untuk mencapai potensinya secara penuh, teknologi ini harus melengkapi, bukan menggantikan dimensi manusia dan sosial dalam pembelajaran. AI harus menjadi alat yang mendukung guru dan siswa, dengan tujuan untuk meningkatkan kemandirian dalam belajar serta kesejahteraan mereka,” kata Audrey Azoulay, dalam keterangan, Kamis (23/1/2025).
UNESCO ingin mendorong diskusi global mengenai peran teknologi ini dalam pendidikan.
Negara-Negara Masih Terbagi Antara Izin dan Pembatasan
Menurut UNESCO, kecerdasan buatan semakin banyak digunakan dalam dunia pendidikan. Di negara-negara berpendapatan tinggi, lebih dari 2/3 siswa sekolah menengah sudah menggunakan perangkat AI generatif untuk mengerjakan tugas sekolah.
Para guru juga semakin banyak menggunakan AI untuk menyusun materi pelajaran dan menilai pekerjaan siswa. Selain itu, bimbingan akademik dan proses penerimaan siswa di sekolah, yang sebelumnya ditentukan oleh guru dan pakar, kini semakin banyak dipengaruhi oleh AI.
Akan tetapi, para pendidik masih kekurangan panduan yang jelas tentang praktik-praktik ini.
Menurut survei terhadap 450 lembaga yang dilakukan UNESCO pada Mei 2023, saat ini hanya 10% sekolah dan universitas yang memiliki kerangka kerja resmi untuk penggunaan AI.
Pada tahun 2022, hanya tujuh negara yang telah mengembangkan kerangka kerja atau program AI untuk guru-guru mereka dan hanya 15 negara yang memasukkan tujuan pelatihan AI dalam kurikulum nasional mereka. Pada saat yang sama, semakin banyak negara yang memberlakukan pembatasan penggunaan teknologi baru di ruang kelas.
Menurut data baru dari UNESCO, hampir 40 persen negara kini memiliki undang-undang atau kebijakan yang melarang penggunaan ponsel di sekolah, naik 24 persen pada Juli 2023.
Sebuah Alat yang Harus Tetap Melayani Murid dan Guru
Sebagai organisasi yang mencakup bidang pendidikan, sains, budaya, dan informasi, UNESCO telah menangani tantangan yang ditimbulkan oleh AI selama hampir sepuluh tahun. Pada November 2021, negara-negara anggota UNESCO mengadopsi kerangka kerja global pertama yang menetapkan standar etika dalam penggunaan AI.
Di bidang pendidikan, UNESCO menerbitkan Panduan pertama mengenai ‘AI Generatif dalam Pendidikan dan Penelitian’ pada September 2023, serta dua kerangka kompetensi AI untuk siswa dan guru pada tahun 2024.
Publikasi ini membahas peluang sekaligus risiko AI, sebagai langkah menuju penggunaan yang aman, etis, inklusif, dan bertanggung jawab. Publikasi ini mencakup saran untuk menetapkan batas usia 13 tahun untuk penggunaan AI di ruang kelas.
UNESCO juga menekankan bahwa alokasi sumber daya untuk AI oleh pemerintah untuk AI harus bersifat tambahan, dan tidak mengalihkan anggaran yang telah diperuntukkan untuk pendidikan. Saat ini, 1 dari 4 sekolah dasar masih belum memiliki akses listrik, dan 60 persen belum terhubung ke Internet.
Kebutuhan dasar harus tetap menjadi prioritas utama: sekolah yang dikelola dengan baik dan memiliki fasilitas memadai, dengan guru yang terlatih, mendapatkan gaji layak, serta termotivasi dalam menjalankan tugasnya.(kir/iss)