
Tren minat siswa melanjutkan kuliah di jurusan Sains, Teknologi, Engineering (Teknik), dan Matematika (STEM) menurun sejak 10 tahun terakhir.
Ina Liem pengamat pendidikan menyebut, berdasarkan Data Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDDikti), selama 10 tahun terakhir peminat jurusan STEM paling tinggi 36 persen, sisanya sosial humaniora (Soshum).
Tiga tahun terakhir berturut-turut juga menurun, 34 persen tahun 2023, 33 persen tahun 2024, lalu tahun ini 32 persen, mahasiswa aktif di jurusan STEM.
“Dari 9,9 juta mahasiswa aktif yang sekarang lagi kuliah,” kata Ina Liem saat mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (25/2/2025) pagi.
Founder Jurusanku.com itu menilai salah satu faktor tren penurunan peminat jurusan ini, karena pembelajarannya yang kurang membumi dan dianggap siswa terlalu teoritis.
“Pas saya nanya (ke siswa) siapa enggak suka kimia angkat tangan semua. Tapi pas diajak bikin listrik mau mau. Artinya mereka bukan enggak tertarik kimia, tapi enggak tertarik cara belajar kimia yang terlalu abstrak,” imbuhnya.
Penurunan minat siswa itu berbanding terbalik dengan pekerjaan di bidang STEM di dunia tahun ini yang masih tinggi bahkan menduduki urutan 10 besar.
“Kita lihat World Economic Forum 2025, job growth, top ten masih Saintek (STEM). Big data specialis, AI, penyimpanan data, IOT, internet office, dan lain-lain,” imbuhnya.
Sehingga ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan peluang pekerjaan di bidang STEM dengan menurunnya minat belajar jurusan itu.
Tren pekerjaan yang diinginkan pelajar atau mahasiswa sekarang bergeser ke influencer, affiliator, yang menggunakan sosial media.
“Kita paling banyak pekerjaan populer, sosial media marketing, mangkanya ilmu komunikasi tahun lalu SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi) paling tinggi, anak-anak mau jadi influencer, affiliator,” ucap perempuan yang juga sebagai konsultan pendidikan dan karir itu.
Jika penurunan minat terhadap STEM ini dibiarkan terus berlanjut, akan menciptakan jarak antara kebutuhan Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dengan jumlah lulusan linier yang tersedia. Akibatnya, tenaga asing akan mengambil alih peran itu.
“Kita bicara teknologi, orang India itu enggak perlu datang ke sini bisa ambil pekerjaan cyber security dengan tawaran (upah) lebih murah dan (lebih) jago,” ucapnya lagi.
Solusinya, tenaga pendidik atau guru harus mengubah pola pengajaran materi STEM agar lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak hanya menerapkan komunikasi satu arah, hanya menyampaikan teori tanpa praktik.
Faktanya, sebagian besar anak belajar memakai 5 panca inderanya, atau dengan cara praktik, ini masih sejalan dengan mata pelajaran jurusan STEM.
“Apalagi anak sekarang, kalua enggak suka, cuek, maunya instan,” tuturnya.
Jika hanya mengandalkan olimpiade atau sejenisnya, hanya segelintir anak yang punya pola pikir konseptor dan akan lahir sebagai peneliti. Sebagain besar sisanya tidak paham dengan itu.
“Tolong guru, mindset jangan susah berubah, dampak ke anak-anak didik. Sekarang hampir 10 juta Gen Z menganggur, coba pikir dampak meluas, ikutlah pelatihan,” pesannya.
Selain guru, universitas menurutnya juga harus berbenah, dengan berani mengeluarkan program studi baru yang menyesuaikan kebutuhan lapangan pekerjaan.
“Universitas kurang gencar buka prodi baru, hanya buka yang mudah memasarkannya. Padahal kita kita perlu berjuang mengenalkan ke Masyarakat, (jurusan) ini demand tinggi, belajar tentang apa,” tambahnya.
Untuk orang tua, harus bisa mengarahkan anak tidak hanya berdasarkan apa yang disukai, tapi betul-betul menggali alasan suka dan tidaknya terhadap mata pelajaran agar tidak salah mengambil keputusan.
“Kita harus ajari anak mau melakukan, tapi cari cara yang pas,” tambahnya.
Pemerintah, selama ini sudah punya program bagus, tapi kebocoran anggaran Pendidikan masih jadi tantangan besar yang jadi PR.
“Itu ditangani dulu,” tegasnya.
Ia berharap sektor swasta mulai hadir untuk bekerjasama seperti negara tetangga yang sebagian besar dana risetnya dari swasta.
“Kita masih mengandalkan pemerintah,” tandasnya. (lta/iss)