
Sehari sebelum pengesahan Rancangan Undang-undang TNI, Rabu (19/3/2025) kemarin, sebuah paket diterima di kantor media Tempo, Jakarta, yang ditujukan kepada Francisca Christy Rosana jurnalisnya, yang baru membukanya sehari kemudian.
Saat dibuka pada Kamis (20/3/2025) hari ini, paket itu ternyata berisi kepala babi. Bagi Tempo, kiriman ini merupakan intimidasi, teror dan pesannya jelas: menakut-nakuti.
Menurut Tempo, ini bukan kali pertama. Teror terhadap Tempo, utamanya kepada tim siniar “Bocor Alus,” tercatat sudah kedua kalinya. Sebelumnya pada 6 Agustus 2024 lalu, mobil Hussein Abri Dongoran jurnalis dirusak orang tak dikenal. Mengesankan aksi kriminal, tapi sesungguhnya teror dan intimidasi.
“Kita tahu tujuan intimidasi dan teror adalah menebar rasa takut. Sasarannya diperingatkan agar tidak meneruskan apa yang sedang ia kerjakan. Sejak perusakan kendaraan pribadi hingga kepala babi, kita bisa melihat ada peningkatan bentuk intimidasi,” tulis Tempo dalam pernyataannya yang diterima suarasurabaya.net, Kamis.
“Kita pun tidak lupa, meski bertujuan menakut-nakuti, aksi begitu biasanya dilakukan oleh para penakut. Justru pelaku yang sesungguhnya mengidap rasa takut. Plus bukan orang yang kreatif dan tidak tahan adu argumentasi. Di negara yang penguasanya anti-demokrasi, atau setidaknya cenderung anti-demokrasi, orang sudah mafhum bahwa lembaga kekuasaan mengidap ketakutan kronis,” sambung pernyataan tersebut.
Menurut Tempo, kekuasaan otoriter atau cenderung otoriter tahu persis bahwa demokrasi itu hakikatnya membatasi kekuasaan.
“Mengapa? Sederhana, supaya tidak sewenang-wenang. Masyarakat demokratis perlu pers yang independen agar ada kontrol terhadap kekuasaan dari masyarakat. Setelah Reformasi 1998, Indonesia melembagakan pers bebas dan jaminan keselamatan kerja jurnalis melalui Undang-undang Pers Nomor 40 tahun 1999,”
Karenanya, Tempo menyatakan tetap tegus bersama dengan para pekerja media.
“Kami bersama seluruh warga negara yang menginginkan agar pers yang bebas tetap dijaga dan jurnalis bekerja secara aman. Kami menyatakan: setop aksi pengecut untuk menakut-nakuti jurnalis.”
Atas ancaman dan teror busuk ini Tempo menyatakan tidak merasa perlu untuk menuntut pihak keamanan mencari tahu siapa pelakunya, dan apa motifnya.
“Kami sulit percaya bahwa aparat keamanan berkehendak untuk berpihak pada rakyat. Hari ini, saat Tempo dikirimi kepala babi, UU TNI disahkan; dan pengkhianatan polisi pada rakyat sudah berbabak-babak. Apa masih patut kami meminta mereka untuk menuntaskan teror busuk atas Tempo?”
Adapun dukungan kepada Tempo terkait teror kepala babi, juga berasal dari banyak kalangan yakni:
- Andreas Harsono, peneliti, Human Rights Watcs
- Arif Susanto, peneliti Exposit Strategic
- Avianti Armand, penulis
- Ayu Utami, penulis
- Bivitri Susanti, dosen STH Jentera
- Damaria Pakpahan, aktivis perempuan
- Danang Widoyoko, Transparansi Internasional Indonesia
- Donny Danardono, dosen Universitas Katolik Soegijapranata
- Erry Riyana Hardjapamekas, mantan wakil ketua KPK
- Feri Amsari, dosen hukum Universitas Andalas
- Goenawan Mohamad, seniman
- Henny Supoli Sitepu, pendiri Cahaya Guru
- Heru Hendratmoko, mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen
- I Dewa Gede Palguna, guru besar Universitas Udayana
- Jilal Mardhani, Neraca Ruang
- John Muhammad, pengamat perkotaan
- Julius Ibrani, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia
- Kuri Suditono, wartawan
- Mudji Sutrisno, dosen STF Driyarkara
- Mustakim, wartawan
- Natalia Soebagjo, pegiat antikorupsi
- Nong Darol Mahmada, pegiat keberagaman
- Nugroho Dewanto, wartawan
- Ray Rangkuti, Lingkar Madani
- Restu Pratiwi, aktivis perempuan
- Ririn Sefsani, aktivis perempuan
- Ruth Indiah Rahayu, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara
- Saidiman Ahmad, peneliti politik dan kebijakan publik
- Sandra Hamid, antropolog
- Sandrayati Moniaga, mantan komisioner Komnas HAM
- Sasmito Madrin, mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen
- Titi Anggraeni, dosen kepemiluan
- Todung Mulya Lubis, pengacara HAM
- Tosca Santoso, mantan Sekjen Aliansi Jurnalis Independen
- Tunggal Pawestri, aktivis perempuan
- Ubedilah Badrun, dosen Universitas Negeri Jakarta
- Ulin Ni’am Yusron, wartawan, pegiat media sosial
- Usman Hamid, Amnesty Internasional
- Wahyu Susilo, Migrant Care
- Winarko Nganthiwani, pengelola siniar politik
- Yanuar Nugroho, dosen STF Driyarkara
- Alif Iman Nurlambang, mahasiswa STF Driyarkara. (bil/ham)