Rabu, 22 Januari 2025

Temuan HGB 656 Hektare di Laut Sidoarjo: Ruang Laut Seharusnya Public Space, Tak Boleh Diprivatisasi

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Kawasan laut di sisi timur Kabupaten Sidoarjo dengan tanda warna oranye telah terbit HGB 656 hektare melalui apikasi Bhumi milik Kementerian ATR/BPN. Foto: tangkapan layar

Hak Guna Bangunan (HGB) lahan misterius seluas 656 hektare (ha) ditemukan di area perairan laut yang secara geografis terletak di Kabupaten Sidoarjo.

Temuan itu diungkapkan Thanthowy Syamsuddin Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (Unair) Surabaya melalui akun X dengan nama pengguna @thanthowy. Dalam akun X tersebut, Thanthowy menyebut HGB seluas 656 hektare terletak di titik koordinat 7.342163°S, 112.844088°E, 7.355131°S, 112.840010°E dan 7.354179°S, 112.841929°E.

Ia menjelaskan, penemuan ini bermula dari keresahannya dengan kasus pagar laut dan HGB misterius yang tiba-tiba muncul di perairan Tangerang beberapa waktu lalu. Berangkat dari keresahan itu dan khawatir hal serupa terjadi di Jawa Timur, ia menelusuri laman aplikasi Bhumi milik Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Temuan itu cukup mengejutkan bagi Thanthowy. Sebab lahan yang tercatat berstatus HGB itu membentang di area perairan, tanpa adanya daratan. Hasil penelusurannya di Google Earth juga menunjukkan bahwa kawasan itu merupakan daerah perikanan tambak hingga tanaman mangrove.

Menanggapi penemuan HGB di Laut Sidoarjo itu, Prof. Daniel Mohammad Rosyid Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengatakan, poin pertama yang harus dicatat adalah, ada perubahan perundang-undangan terkait wilayah pesisir.

Ia menyinggung Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU ini telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, untuk memberikan kewenangan dan tanggung jawab negara yang lebih memadai dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Sebelumnya, ruang pesisir itu bisa diprivatisasikan. Tapi setelah undang-undang itu muncul, itu tidak boleh. Jadi pesisir itu harus jadi public space di mana tidak boleh diprivatisasikan kecuali untuk hal khusus seperti pelabuhan, misalnya. Itu pun bentuknya izin. Jadi bukan hak, tapi diberi izin saja,” ujar Daniel dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya pada Rabu (22/1/2025).

Daniel menambahkan bahwa pelarangan ruang pesisir untuk diprivatisasi berlaku sejak UU No. 27 tahun 2007 diberlakukan.

“Jadi kalau tahun 1996 terbit HGB, itu bisa saja. Karena rezimnya waktu itu masih seperti itu,” sebut mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur (Jatim) itu.

Privatisasi pun tidak mutlak, ada batas waktu. Jika dinilai tidak becus dan dianggap hanya sekadar jual beli, pemerintah bisa cabut legalitasnya.

“Persoalannya adalah kita belum memiliki pemerintahan di laut yang efektif. Masing-masing bekerja menurut undang-undangnya masing-masing. Sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan, dan ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu,” terangnya.

Apalagi jika ada kawasan yang ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Ada sejumlah hal yang bisa diterobos atau diabaikan oleh PSN ini.

“Tetap, kalau pemanfaatan ruang di laut, harus rezimnya rezim perizinan (sesuai) yang terlaku sekarang, bukan rezim pemilihan hak,” jelasnya.

Daniel menambahkan, ruang pesisir sudah lama menjadi lahan permainan dan penuh konflik. “Yang menang yang punya duit, yang punya backing. Jadi permainanya sama sekali tidak cantik,” kritiknya.

Daniel menyebut ada berbagai praktik ocean grabbing atau perampasan ruang laut, kemudian mengandalkan backing dari oknum tertentu.

Daniel mengungkapkan bahwa sudah lama Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) menjadi pertarungan antara pengembangan-pengembangan besar. Ada berbagai kawasan yang dulunya daerah konservasi, kini disulap menjadi perumahan.

“Untuk kawasan Pamurbaya, kan pada masa Bu Risma sudah ditetapkan menjadi kawasan konservasi, tak bisa dijual belikan tidak bisa dijual belikan,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa Surabaya memang memiliki potensi yang luar biasa. Bahkan sudah menjadi kota maritim sejak zaman Majapahit. Karena Surabaya tumbuh pesat, pertumbuhannya pun melambung ke arah Gresik, Lamongan, Sidoarjo, hingga Mojokerto.

“Tapi gagal di Madura. Masalahnya Madura belum siap. Birokrasinya tidak terlalu kompeten, Suramadu juga gagal, karena Suramadu terlalu kecil untuk industri Madura. Kalau Madura berhasil, ini akan menjadi daerah investasi yang bagus,” terangnya.

Ini menjadi pekerjana rumah bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Jatim) untuk mengintegrasikan ekonomi Madura ke mainland Jawa Timur.

“Jadi membangun infrastruktur jalan, kereta api, air bersih listrik, dan listrik di Madura, sehingga investasi ke Madura bisa masuk. Jadi cukup di Madura saja sebenarnya, tidak perlu pulau-pulau buatan ini,” tegasnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Mobil Tabrak Dumptruk di Tol Kejapanan-Sidoarjo pada Senin Pagi

Surabaya
Rabu, 22 Januari 2025
31o
Kurs