
Memasuki minggu pertama Ramadan 1446 H, masyarakat mulai ramai terkait penukaran uang baru, untuk persiapan perayaan Idulfitri 2025.
Uang baru itu, nantinya dibagikan sebagai Tunjangan Hari Raya (THR) pada sanak saudara yang berkunjung saat Idulfitri.
Djoko Adi Prasetyo Pakar Antropologi Universitas Airlangga menyebut, tradisi pemberian uang diyakini berasal dari budaya Timur Tengah yang diadopsi oleh masyarakat Indonesia.
“Walaupun sejarahnya belum tertulis dengan jelas, tapi tradisi THR kemungkinan berasal dari bentuk sedekah sesuai ajaran Islam. Tradisi itu tidak lepas dari proses akulturasi budaya masyarakat Indonesia,” terangnya.
Menurut Djoko, dalam catatan sejarah, budaya THR tercetus saat era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara.
Tradisi memberikan uang baru saat Lebaran, membuat Bank Indonesia memberikan fasilitas penukaran setiap tahun.
Sementara itu, sejak 3 Maret 2025 Bank Indonesia sudah memulai penukaran uang baru untuk Lebaran 2025. Tapi tahun ini, pemesanan penukaran uang baru di Bank Indonesia dilakukan secara online, melalui situs PINTAR BI.
Masyarakat yang ingin menukar uang baru harus mendaftar terlebih dahulu di situs pintar.bi.go.id sampai dengan 27 maret 2025.
Menurut Anda, masih perlukah menukar uang baru saat Lebaran?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (6/3/2025) pagi, masyarakat memberikan jawaban beragam. Ada yang mengaku masih menukar, tapi ada juga yang tidak.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 82 persen peserta polling menyatakan masih menukarkan uang baru untuk persiapan Idulfitri 2025. Sedangkan, 18 persen sisanya, sudah tidak menukar lagi.
Sementara berdasar data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 63 persen peserta menyatakan masih menukarkan uang baru untuk persiapan Idulfitri 2025. Sedangkan, 37 persen sisanya, sudah tidak menukar lagi.
Mengenai hal itu, Dr Tuti Budirahayu Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) menerangkan, tradisi menukar uang baru jelang Lebaran, sudah terjadi sejak lama dan telah menjadi bagian dari perayaan itu sendiri.
“Biasanya uang itu untuk diberikan pada anak-anak dan anggota keluarga. Saya rasa itu bukan sesuatu yang negatif,” terangnya.
Sementara itu, lanjut Tuti, tradisi tukar uang ini karena biasanya orang-orang tidak menyetok uang dalam jumlah banyak. Sehingga mereka perlu menukar terlebih dahulu di bank.
Tuti mengatakan, selain karena tidak menyetok uang cash, tradisi memberikan uang baru saat Lebaran ini seperti sebuah simbol.
“Sebenarnya secara nominal sama. Meski uang yang kita berikan tidak baru. Tapi ini adalah simbol, kalau kita sudah selesai menjalankan ibadah puasa, semua kembali fitri. Termasuk juga uang baru, baju baru, suasana baru. Jadi ini simbol saja,” jelasnya.
Tuti menyebut bahwa tradisi ini langgeng juga karena kebiasaan masyarakat yang memang lebih senang menerima dan memegang uang baru daripada ung lama.
“Anak-anak dan orang tua sama saja. Mereka lebih senang ketika melihat barang baru. Menurut saya, itu masih manusiawi,” katanya.
Lebih penting dari sekadar menukar uang baru, Tuti justru meminta agar masyarakat mendapat edukasi perihal menjaga uang. Supaya, uang yang tersebar tetap dalam kondisi yang baik.
Caranya yakni, memastikan uang tidak terlipat, tidak kusut, tidak coret-coret, tidak sobek, tidak rusak, dan masih banyak lagi.
“Masyarakat harus bisa menghargai uang, dengan menggunakan, memanfaatkan, dan menyimpan sebaik-baiknya,” tandasnya.(kir/ipg)