![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2025/01/IMG-20250130-WA0063-170x110.jpg)
Usulan pemberian izin usaha tambang atau izin tambang untuk perguruan tinggi, menuai pro dan kontra. Usulan terkait pemberian izin tambang itu ada dalam susunan Rancangan Undang-undang (RUU) Mineral dan Batubara (Minerba) yang sudah disepakati Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Beberapa orang menilai kebijakan ini memberikan dampak positif agar lebih mandiri dalam hal pendanaan. Tetapi banyak juga yang menilai bahwa usulan ini memberikan dampak negatif.
Menurut Bob Hasan Ketua Baleg DPR, pemberian izin pada kampus-kampus dalam negeri dapat meningkatkan kualitas pendidikan.
RUU tentang perubahan keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009, berisi ketentuan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dengan cara lelang atau prioritas, pada Badan Usaha, Koperasi atau Perusahaan perseorangan, Organisasi Masyarakat (ormas) dan Perguruan Tinggi.
Tapi usulan ini ditolak oleh Serikat Pekerja Kampus (SPK) karena dinilai memunculkan kemungkinan adanya konflik kepentingan. Kampus seharusnya berperan dalam mencegah perubahan iklim serta menjamin keberlanjutan sumber daya alam, bukan malah ikut berbisnis tambang.
Merespon polemik ini, Puan Maharani Ketua DPR RI meminta semua pihak tidak saling curiga soal rencana pemberian izin tambang untuk perguruan tinggi. Menurutnya, DPR akan membuka ruang seluas-luasnya, mendengarkan aspirasi dari seluruh elemen masyarakat, agar tidak terjadi salah persepsi antara pihak yang terlibat.
Menurut Anda, apakah layak jika kampus diberi izin untuk mengelola tambang?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (6/2/2025) pagi, masyarakat menyebut bahwa kampus tidak layak mendapatkan izin mengelola tambang.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 53 persen peserta polling menyatakan bahwa tidak layak kampus mendapat perizinan usaha tambang. Sedangkan 47 persen lainnya menyatakan layak.
Sementara berdasar data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 75 persen voters atau peserta polling menyatakan tidak layak kampus mendapat perizinan usaha tambang. Sedangkan 25 persen lainnya menyatakan layak.
Mengenai hal ini, Itje Chodidjah Prakitisi Pendidikan menerangkan bahwa tidak layak jika kampus mendapatkan perizinan pertambangan.
“Tidak pernah ada dalam Tri Dharma perguruan tinggi yang menyebut soal bisnis. Tidak perguruan tinggi di dunia ini yang langsung terkait mengelola (tambang). Mengelola perlu resources yang besar. Bukan hanya dari jurusan tambang tapi dari antar disiplin ilmu,” terangnya.
Menurut Itje, perguruan tinggi adalah Center of Excellence berdasar khittahnya. Untuk mengelola tambang, dibutuhkan perguruan tinggi yang memiliki basis research university. Dan itu tidak dimiliki semua perguruan tinggi.
Itje juga menambahkan meskipun ada kriteria-keriteria yang diperlukan dalam memilih perguruan tinggi untuk mengelola tambang, perempuan yang juga ketua harian komisi nasioan Indonesia untuk UNESCO 2021-2025 itu menyatakan, ketidaksetujuannya atas wacana tersebut.
“Karena peruntukan kampus bukan untuk mengelola lahan bisnis. Untuk porsi perguruan tinggi, saya rasa lebih baik membantu dengan cara berbeda, bukan mengelola tambang. Nanti para dosen dan anggota senat akan sibuk memikirkan bagaimana mengelola tambang dan membuat mahasiswa terlantar,” ungkapnya.
Itje menyarankan, daripada kampus diberikan izin mengelola tambang, lebih baik mengambil peran sesuai dengan khittah yakni, melakukan research, pemeliharaan alam, hingga kelestarian alam. Hal itu karena persoalan tambang bergesekan erat dengan pelestarian lingkungan.
“Ketika itu (tambang) dikelola kampus, nanti kalau kampus mengambil keputusan yang berpihak pada kesehatan bumi atau kepentingan orang banyak, keputusannya akan kabur (bias). Mereka tidak akan bisa memutuskan mana yang baik dan yang harus ditinggalkan,” jelasnya.
Itje kembali menegaskan, kampus adalah lembaga yang melakukan penelitian untuk mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan alam maupun sosial. Kampus juga adalah pusat keilmuan yang dianggap penting dan dipercaya hasil penelitiannya.
“Kalau kemudian digeret ke ranah bisnis, nanti bergantung pada siapa yang memimpin negara ini. Jangan sampai kampus jadi alat permainan politik. Kalau saya bilang nggak usah masuk sekalian. Karena yang ditakutkan, kampus tidak bisa mengambil keputusan dengan tegas nantinya,” tandas Itje.(kir/ipg)