
Belum genap satu tahun munculnya kasus dugaan korupsi timah merugikan negara sebesar Rp300 triliun, kini masyarakat Indonesia kembali dibuat pusing dengan ulah para maling berdasi dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina Patra Niaga yang disebut merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Kejaksaaan Agung (Kejagung) selaku pihak yang menangani perkara itu menyebutkan, kerugian itu bersumber dari berbagai komponen, seperti kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri dan impor minyak mentah melalui broker, selama periode 2018-2023.
Bahkan yang terbaru, Harli Siregar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Rabu (26/2/2025) kemarin, mengungkapkan kalau kerugian negara Rp193,7 triliun itu hanya pada tahun 2023 saja. Tidak menutup kemungkinan angka itu akan bertambah, mengingat penyelidikan terus dilakukan.
Cobaan bertubi-tubi yang dirasakan Indonesia ini pun membuat masyarakat pesimis kalau kasus yang baru ini bisa ditangani sampai tuntas oleh aparat sampai ke akar-akarnya, mengingat besarnya jumlah nominal kerugian negara, dan dikhawatirkan banyak mafia besar yang terlibat di belakangnya.
Bahkan, dalam program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (27/2/2025), yang membahas soal kasus korupsi tata kelola minyak mentah itu, mayoritas pendengar cenderung tidak yakin kasus ini bisa diusut tuntas.
Dari data Gatekeeper Radio Suara Surabaya, 150 dari 206 (73 persen) peserta polling menyatakan pesimis kalau kasus korupsi di Pertamina itu tidak bisa diusut tuntas. Sedangkan 56 peserta sisanya (23 persen) menyatakan optimis kasus korupsi bisa diusut sampai tuntas selesai.
Sedangkan berdasarkan data di Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 448 dari 545 (82 persen) voters atau peserta polling menyatakan pesimis kalau kasus korupsi tata kelola minyak mentah itu bisa diusut tuntas. Sedangkan 97 voters sisanya (18 persen) menyatakan optimis aparat bisa mengusut tuntas kasus korupsi tersebut.
Hingga kini, skandal korupsi tata kelola minyak mentah di itu terus mencuat ke permukaan. Yang disorot, permasalahan dalam impor minyaknya, serta perbedaan harga referensi.
Terkait hal ini, Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dan Migas serta Direktur Eksekutif Reforminer Institute memberikan penjelasan. Dia menyebut akar masalah ini sebenarnya sudah lama terjadi, dan berakar dari fakta bahwa produksi minyak dalam negeri jauh di bawah kebutuhan.
Dia membeberkan produksi minyak Tanah Air cuma 600 ribu barel per hari, sementara konsumsinya mencapai 1,6 juta barel per hari. Karena itulah, kekurangan itu ditutup dengan kebijakan impor.
“Kalau impor itu, posisi hampir semua negara itu sebagai price picker. Artinya harus ngambil harga, anda mau beli atau tidak, kalau anda gak mau beli orang lain yang akan beli. Jadi, terjadi pada posisi yang sulit gitu sebetulnya. Nah, itu yang kemudian ada celah-celah yang dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Karena kan BBM harus ada nih setiap hari,” jelasnya saat mengudara di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis pagi.
Menanggapi narasi yang berkembang bahwa impor minyak tidak diperlukan jika produksi dalam negeri dimaksimalkan, Komaidi membeberkan kalau produksi minyak butuh waktu yang sangat lama.
“Misalnya hari ini menemukan cadangan minyak gitu ya, itu baru bisa produksikan itu lima tahun. Karena produksinya lama, selama lima tahun ke depan itu kan kita perlu hidup, nih. Perlu biaya, gitu. Mau tidak mau kan harus beli (impor) dari luar,” ujar Komaidi.
Komaidi juga menjelaskan bahwa kilang-kilang minyak di Indonesia memiliki spesifikasi tertentu yang membuat tidak semua minyak mentah dapat diolah di dalam negeri. Hal ini menyebabkan sebagian produksi minyak dalam negeri diekspor dan hasilnya digunakan untuk membeli minyak mentah yang sesuai dengan spesifikasi kilang.
Sementara untuk isu praktik oplosan, Komaidi menjelaskan kalau hal itu adalah proses yang wajar dan teknis di kilang untuk menghasilkan BBM dengan kualitas yang standar.
Tapi dia memahami, bahwa isu oplosan itu memicu ketidakpercayaan publik, terutama setelah muncul pemberitaan yang menyebut adanya pencampuran minyak berkualitas rendah (RON 90) untuk menjadi minyak berkualitas lebih tinggi (RON 92), atau Pertamax yang isinya oplosan Pertalite.
Ia menegaskan bahwa setiap produk BBM yang keluar dari kilang harus melalui pengawasan ketat dan memenuhi standar regulasi yang ditetapkan oleh Kementerian Teknis dalam hal ini ESDM.
“Jadi saya tidak dalam kerangka membela Pertamina atau siapapun itu, tapi mari kita edukasi secara yang proporsional. Dalam proses kilang, ketika keluar dari kilang, itu kan ada standar tertentu yang harus dipenuhi supaya dia bisa cek and review,” ujarnya.
Karenanya, Komaidi juga menyoroti peran media dalam membentuk opini publik terkait kasus-kasus seperti ini. Menurutnya, media harus lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata untuk pemberitaan, terutama dalam isu sensitif seperti energi dan migas.
“Karena yang sebenarnya disorot oleh kejaksaan itu adalah perbedaan harga, bukan proses blending-nya. Itu yang harus kita pahami bersama,” tutup Komaidi. (bil/ipg)