Rabu, 12 Maret 2025

Penundaan Pengangkatan CPNS Berpotensi Picu Pengangguran Terdidik dan Krisis Kepercayaan

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi CPNS. Foto: Kominfo

Rini Widyantini Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) mengumumkan penundaan pengangkatan Calon Aparatur Sipil Negara (CASN) setelah rapat dengan Komisi II DPR pada 5 Maret 2025.

Pengangkatan CPNS 2024 yang semula dijadwalkan Maret 2025 ditunda menjadi Oktober 2025, sedangkan PPPK 2024 Tahap 1 dan 2 masing-masing mundur ke Maret 2026 dari Februari dan Juli 2025.

Penundaan ini diputuskan untuk menyesuaikan jadwal usai mempertimbangkan usulan daerah serta kebutuhan penataan ASN guna mendukung program pembangunan, bukan karena efisiensi anggaran atau pembatalan.

Keputusan tersebut memicu kritik keras, terutama dari peserta yang telah lulus seleksi namun kini menghadapi ketidakpastian.

Banyak peserta yang sudah mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya setelah dinyatakan lulus kini kehilangan penghasilan, memicu dampak ekonomi dan psikologis.

Petisi penolakan penundaan pun viral di media sosial, menuntut percepatan pengangkatan, kepastian hukum, dan jaminan hak peserta, serta menghindari kekosongan tenaga kerja demi kelancaran pelayanan publik.

Terkait hal tersebut, Herni Ramdlaningrum Program Manager The Prakarsa, sebuah Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan, mengatakan bahwa penundaan pengangkatan CPNS dan PPPK berpotensi menimbulkan dampak serius bagi tenaga kerja muda terdidik di Indonesia.

“Sangat disayangkan dengan keputusan pemerintah dengan menunda pengakanatan angkatan kerja muda di Indonesia,” katanya dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (12/3/2025) pagi.

Herni menyorot alasan pemerintah menunda pengangkatan ini karena proses pengangkatan di berbagai kementerian dan pemerintah daerah belum rampung.

“Mereka ingin serempak dan ada evaluasi rekrutmen. Tapi lucunya, evaluasi dilakukan setelah penerimaan. Ini seperti memberi harapan kosong,” ujarnya.

Dia juga menyoroti bahwa banyak pekerja terdidik yang sudah menanti kepastian kini justru terjebak dalam status “pengangguran terdidik”.

Herni menambahkan bahwa sulit untuk tidak menghubungkan keputusan ini dengan upaya penghematan anggaran pemerintah. Namun, ketidakjelasan ini justru memicu kekhawatiran baru.

Dampaknya pun tidak main-main. Bagi tenaga kerja muda yang menggantungkan harapan pada pekerjaan ini, penundaan bisa memicu tekanan finansial dan ketidakpastian hidup.

“Apalagi jika mereka ini kelompok sandwich generation, yang mungkin harus menanggung keluarga. Belum lagi, kalau melamar kerja lain, ada ketakutan: bagaimana kalau tiba-tiba proses pemerintah dilanjutkan?” ungkap Herni.

Lebih jauh, kebijakan ini juga berpotensi mengganggu pelayanan publik. Kekurangan tenaga kerja di instansi pemerintah bisa meningkatkan beban pegawai yang sudah ada, hingga akhirnya berdampak pada kualitas layanan.

“Ini juga soal sosial politik. Setelah serangkaian kebijakan, kepercayaan masyarakat pada pemerintah bisa makin merosot,” tambahnya.

Untuk meredam spekulasi dan keresahan publik, Herni mendesak pemerintah agar lebih terbuka.

“Pertama, respons mereka harus sangat transparan. Kedua, berikan jaminan pada pekerja terdidik yang sudah lolos seleksi. Jangan sampai ada alasan apa pun yang membuat mereka tak punya kepastian,” tegasnya.

Dia mengakui, jika penundaan ini dimaksudkan untuk menciptakan proses yang lebih bersih dan akuntabel, maka itu adalah langkah positif. Tapi jika komunikasi dilakukan setengah-setengah, itu hanya akan memperburuk situasi.

“Jangan sampai masyarakat dibiarkan berspekulasi. Tapi karena ini sudah di tengah jalan, komunikasikan sejelas mungkin,” pinta Herni. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Tempat Laundry di Simo Tambaan

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Surabaya
Rabu, 12 Maret 2025
28o
Kurs