
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengakui adanya celah dalam sistem pengawasan layanan kesehatan yang bisa dimanfaatkan oleh tenaga medis untuk melakukan pelanggaran, termasuk kekerasan seksual terhadap pasien, seperti yang terjadi pada seorang dokter program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Azhar Jaya Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kemenkes menyatakan, tengah mengevaluasi sistem pengawasan dan berkomitmen untuk menindak tegas pihak yang bertanggung jawab, termasuk mengganti Ketua Staf Medik (KSM) di unit tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab struktural.
Azhar menegaskan bahwa pasien berhak menolak tindakan medis yang dirasa tidak aman, terutama jika dilakukan oleh tenaga medis lawan jenis tanpa pendamping.
Ia juga mengungkapkan bahwa setiap ruang tindakan medis harus dilengkapi dengan informasi mengenai alur dan jenis tindakan yang akan dilakukan, meskipun sosialisasi mengenai hal ini masih kurang. Kementerian Kesehatan pun berjanji untuk meningkatkan edukasi publik mengenai hak pasien dan prosedur medis yang benar.
Menyikapi hal tersebut, dr. Hendro Soelistijono. MM., M.Kes Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Jawa Timur (Jatim) menyampaikan keprihatinan. Ia juga menyampaikan simpati kepada korban serta keluarganya.
Ia menegaskan bahwa rumah sakit harus dilihat sebagai sebuah institusi secara komprehensif. Selain itu langkah-langkah preventif perlu diambil untuk mencegah kejadian serupa.
“Saat ini adalah momen untuk introspeksi diri, tidak perlu saling menyalahkan, melainkan bagaimana kita mengambil peran seusai dengan fungsi masing-masing,” terang Hendro dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (23/4/2025) pagi.
Sebagai langkah konkret, PERSI Jawa Timur telah mengeluarkan edaran yang mengingatkan rumah sakit untuk mensosialisasikan etika rumah sakit, melakukan pembinaan internal, dan memastikan implementasi kode etik yang berlaku.
Rumah sakit juga diminta untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang aman. Pasien memiliki hak untuk memilih tenaga medis yang memeriksanya, baik dokter, perawat, maupun tenaga kesehatan lainnya.
Terkait dengan akreditasi, Hendro menjelaskan bahwa setiap rumah sakit, termasuk rumah sakit pendidikan, menjalani verifikasi rutin setiap empat tahun sekali. Namun, akreditasi ini harus berkelanjutan dan tidak hanya saat survei berlangsung.
“Kami terus mendorong rumah sakit untuk memiliki sistem manajemen risiko yang baik dan memastikan budaya keselamatan pasien terlaksana dengan baik,” katanya.
Dalam hal ini, jika terjadi penyimpangan atau masalah lainnya, rumah sakit diharapkan segera melakukan investigasi untuk mencegah efek yang lebih besar.
Selain itu, ia menekankan pentingnya pengawasan yang berjenjang, mulai dari tahap pendidikan dokter umum hingga spesialis. Di rumah sakit pendidikan, para dokter muda (Koas) wajib mengikuti prosedur seperti tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) untuk memastikan kualitas dan integritas mereka.
“Pengawasan terhadap tenaga medis harus dilakukan dengan baik. Tidak hanya untuk melindungi pasien, tetapi juga untuk memastikan integritas institusi kesehatan itu sendiri,” pungkasnya.
PERSI Jawa Timur juga menginformasikan bahwa mereka terus melakukan pembinaan secara berjenjang terhadap hampir 439 rumah sakit di wilayah tersebut, yang dibagi dalam 8 wilayah koordinasi.
Pembinaan dan komunikasi yang intens dengan rumah sakit diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan keselamatan pasien di seluruh wilayah Jawa Timur. (saf/ipg)