![](https://www.suarasurabaya.net/wp-content/uploads/2024/10/Dasco-1-e1728390059235-170x110.webp)
Kebijakan Prabowo Subianto Presiden RI yang memerintahkan efisiensi anggaran pemerintah sebesar Rp306,69 triliun pada APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 untuk menjaga stabilitas fiskal dan mengoptimalkan pelayanan publik masih disoroti publik. Banyak yang khawatir, akan berdampak pada infrastruktur dasar.
Jaya Darmawan Peneliti Ekonomi, Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kebijakan efisiensi ini baik, asal mempertimbangkan sasaran kementerian atau lembaga, yang tidak mengganggu infrastruktur dasar.
“Kalau infrastruktur jumbo dan belum tentu berdampak tidak apa-apa (diefisiensi) misal IKN (Ibu Kota Nusantara), beberapa food estate, tapi kalau berupa infrastruktur dasar, perlu diskusi lagi termasuk kementerian, lembaga, harusnya juga dipangkas kalau mau fair, misalnya Kementerian Pertahanan dan kepolisian,” katanya mengudara dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (11/2/2025).
Dalam catatannya, sejumlah infrastruktur dasar yang terancam tersenggol karena transfer dana desa dari APBN yang semula RP71 triliun, dipangkas Rp2 triliun, tinggal Rp69 triliun. Secara keseluruhan, Presiden menarget penghematan dari Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun.
“Dalam anggaran dana desa terdapat pembangunan di desa baik itu Puskesmas, jembatan, bahkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) desa,” imbuhnya.
Sementara sejumlah kementerian dan lembaga tidak masuk daftar yang harus mengalami efisiensi anggaran, padahal kinerjanya tidak bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. Misalnya Kementerian Pertahanan yang justru pagu anggarannya naik dari Rp155,98 triliun jadi Rp165,16 triliun, menurutnya bentuk ketidakbijakan pemerintah.
“Di tengah keterbatasan fiskal dan anggaran program pemerintah, MBG (Makan Bergizi Gratis) yang menyerap dana besar, saya kira tidak bijak ketika Kemenhan harus diberi dana besar, termasuk pembahasan anggaran (Kemenhan) sering tertutup sehingga masyarakat susah melakukan evaluasi, atau dampaknya tidak bisa dirasakan langsung dibanding perlinsos (perlindungan sosial), dibanding program pengentasan kemiskinan,” paparnya.
Begitu juga Polri dengan anggaran Rp126,62 triliun naik dari sebelumnya Rp123,6 triliun, yang menurutnya banyak menunjukkan ketidakoptimalan menjalankan fungsi ketertiban dan keamanan.
“Kinerja banyak disorot masyarakat, banyak fungsi ketertiban keamanan yang tidak berjalan optimal, seharusnya Polri juga kalau mau fair, dipotong juga setidaknya 22 persen, dalam perhitungan kami,” jelasnya.
Begitu juga lembaga legislatif Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang anggarannya juga perlu diefisiensi menurutnya.
“DPR sebenarnya secara kinerja kita sekarang rasanya enggak punya DPR, dewan aja, dirasakan banyak masyarakat, banyak konflik di masyarakat tidak mampu diserap aspirasinya oleh DPR, DPR kita tumpul, cenderung presidensil dan pro pemerintah,” tambah Jaya.
Kebijakan itu ia soroti mengingat Indonesia mengalami keterbatasan fiskal ditambah warisan hutang yang harus dibayar Prabowo tahun 2025 sebesar Rp1.353 triliun, rinciannya hutang Rp800,33 triliun, lalu bunganya Rp552,9 triliun.
Selain efisiensi perlu diterapkan merata ke semua kementerian dan lembaga, Jaya juga menyoroti pemerintah bisa menerapkan sasaran skala prioritas untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) agar tidak sampai memakan anggaran yang direncanakan sekitar Rp400 triliun per tahun. Tidak perlu semua anak menerima MBG, terutama yang tergolong mampu.
“Rekomendasi kami terkait MBG, yang mendapat alokasi Rp100 triliun (Rp171 triliun) dan dilaksanakan hingga Rp400 triliun (per tahun) kita punya rekomendasi MBG tepat sasaran, fokus pada daerah 3T, daerah yang banyak mal nutrisi, daerah dengan anak miskin yang pendapatan di bawah Rp2 juta per bulan, dan ibu hamil, itu hanya butuh Rp117 triliun per tahun,” paparnya lagi.
Ketidakbijakan penerapan efisiensi anggaran bisa berdampak negatif, mulai dari penurunan kualitas pelayanan publik, pelayanan kesehatan, pendidikan, maupun sosial masyarakat.
“Kedua, penurunan potensi kemampuan negara menurunkan kemiskinan, karena di dana desa tadi ada yang berpotensi turun ketika diambil dananya,” ucapnya.
Cara lain efisiensi yang ia usulkan, pemerintah bisa mencari penerimaan negara dari sektor pajak progresif.
“Pajak kekayaan, pajak produksi batu bara, karbon, dan lain-lain, dari pada hanya efisiensi anggaran yang terlalu umum atau malah mengurangi pelayaann publik,” tandasnya. (lta/iss)