Sabtu, 15 Februari 2025

Peneliti: Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan untuk Pegawai Kontrak Masih Jauh dari Harapan

Laporan oleh Risky Pratama
Bagikan
Sugeng Lestari peneliti disertasi atau mahasiswa doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Foto: Untag Surabaya

Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Sugeng Lestari, mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, mengungkap bahwa program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pegawai kontrak atau pekerja alih daya masih jauh dari harapan.

“JKP memang diperkenalkan sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Namun, aturan turunannya dalam Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2021 ternyata membuat akses terhadap program ini sangat sulit bagi pekerja alih daya,” katanya, Sabtu (15/2/2025).

Sugeng menyebut, syarat administratif dalam program JKP cukup berat, sehingga membuat banyak orang tidak bisa memanfaatkan program tersebut.

Dalam penelitiannya, ia mencatat bahwa salah satu syarat utama untuk mendapatkan JKP adalah masa kepesertaan Jamsostek minimal dua tahun. Persyaratan tersebut menurutnya, menjadi kendala besar bagi pekerja alih daya, yang sering kali memiliki masa kontrak kurang dari satu tahun.

“Kondisi ini menyebabkan mayoritas pekerja alih daya tidak bisa mengakses manfaat JKP, padahal mereka adalah kelompok yang paling rentan terkena PHK,” ucap peneliti yang mendapat bimbingan disertasi dari Made Warka dosen Fakultas Hukum Untag Surabaya.

Jika dibandingkan dengan data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Timur, menurutnya jumlah pekerja yang menerima JKP tidak sampai tidak persen dari total pekerja yang mengalami PHK.

Ia menegaskan, seharusnya angka yang ada tidak berbeda jauh dengan pekerja yang memperoleh Jaminan Hari Tua.

“Program JKP melalui Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) tahun 2020 ini, seharusnya menjadi angin segar bagi pekerja yang terkena PHK,” ucapnya.

Sebagai upaya mencari solusi, Sugeng mengkaji kebijakan serupa di beberapa negara seperti Jepang, Korea dan Malaysia. Ia menemukan bahwa model JKP di Jepang bisa menjadi inspirasi bagi Indonesia.

“Di Jepang, program JKP tidak hanya dikelola oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan kolaborasi dengan perusahaan dan pelaksana jaminan sosial. Manfaatnya pun tidak hanya berupa uang tunai, tetapi juga pelatihan dan pendampingan hingga pekerja alih daya bisa mendapatkan pekerjaan baru,” terangnya.

Meskipun begitu, ia menekankan bahwa model yang diterapkan Jepang tidak bisa diadopsi sepenuhnya oleh Indonesia, karena kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia berbeda. Sehingga, perlu inovasi dalam penerapannya.

“Di Indonesia, jumlah pekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Oleh karena itu, perlu inovasi lain seperti pelatihan kewirausahaan agar pekerja yang terkena PHK tetap bisa produktif di sektor informal,” tambahnya.

Hasil penelitian yang dikerjakan selama 1,5 tahun tersebut, sudah ia dikomunikasikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan BPJS Ketenagakerjaan. Ia berharap, ada revisi dalam regulasi JKP agar lebih baik penerapannya.

“Jika benar-benar ingin melindungi pekerja, regulasi ini harus diubah. Syarat-syarat yang terlalu berat harus disederhanakan. Selain itu, pekerja juga harus lebih aktif menyuarakan hak mereka, karena ini adalah bentuk perlindungan yang diberikan negara,” pungkasnya.(ris/bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Surabaya
Sabtu, 15 Februari 2025
27o
Kurs