
Pemerintah Indonesia memastikan bahwa Reynhard Sinaga terpidana kasus kekerasan seksual di Inggris, tidak masuk dalam prioritas pemulangan narapidana dari luar negeri yang kini ditempuh melalui proses diplomasi antarnegara.
Hal itu disampaikan Yusril Ihza Mahendra Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumham Iripas) usai menghadiri pertemuan para hakim dengan Prabowo Subianto Presiden di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (20/2/2025).
“Reynhard Sinaga itu tidak menjadi prioritas bagi kami, karena isu yang beliau itu sangat sensitif,” ucapnya seperti dilansir Antara.
Sebagai informasi, Reynhard Sinaga, seorang mahasiswa asal Indonesia, dengan visa pelajar divonis bersalah atas 159 dakwaan pemerkosaan terhadap 48 pria pada Januari 2020, dengan modus membius korban sebelum melakukan kekerasan seksual.
Awalnya, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dengan minimal 30 tahun sebelum dapat mengajukan pembebasan bersyarat. Namun, setelah banding dari jaksa Inggris, hukuman tersebut diperberat menjadi minimal 40 tahun.
Selama persidangan, terungkap bahwa jumlah korban Reynhard diperkirakan mencapai 206 pria, dengan sekitar 60 korban belum teridentifikasi. Mayoritas korbannya adalah mahasiswa berusia 18 hingga 36 tahun.
Yusril menegaskan bahwa pemerintah lebih memfokuskan upaya diplomasi hukum untuk menyelamatkan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang terancam hukuman mati, khususnya di Arab Saudi.
Yusril mengatakan, saat ini pemerintah tengah mempersiapkan langkah strategis untuk memulangkan warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi narapidana di luar negeri, terutama mereka yang menghadapi hukuman mati.
Salah satu agenda penting adalah pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Malaysia di Jakarta pada 24-25 Februari 2025 untuk membahas pemulangan lebih dari 50 narapidana WNI di Malaysia.
Selain dengan Malaysia, kata Yusril, pemerintah Indonesia juga membuka pembicaraan dengan Prancis dan Arab Saudi terkait kerja sama hukum dan pemulangan narapidana.
Yusril menambahkan, Pemerintah Prancis bahkan menyambut positif langkah Indonesia memulangkan salah satu warganya, dan berharap kerja sama ini dapat diperkuat dalam kunjungan Emmanuel Macron Presiden ke Indonesia pada Mei mendatang.
“Sebenarnya hal seperti ini sudah pernah saya lakukan pada 2001-2002. Saat itu, beberapa narapidana dipindahkan dari Malaysia ke Provinsi Riau,” ujar Yusril.
Meskipun langkah pemulangan ini baru memulangkan beberapa narapidana asing, seperti satu orang dari Filipina, lima orang dari Bali Nine, dan satu orang dari Prancis, Yusril optimistis pendekatan diplomasi hukum ini akan membuka peluang lebih luas untuk menyelamatkan nyawa para TKI yang terancam hukuman mati di luar negeri. (ant/bil/ham)