Satria Unggul Wicaksana Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya menegaskan, tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen merupakan bagian dari kesejahteraan dosen, sehingga harus diberikan sebagai hak dosen.
“Tukin itu bagian dari kesejahteraan dosen, lebih-lebih dosen Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ya, ASN, dan dosen yang lain. Tentu ini tidak bisa ditolerir ya, atau sesuatu yang dapat dinegoisasikan,” katanya, pada Selasa (4/2/2025).
Di Undang-Undang Dasar, kata dia, sudah dijelaskan bahwa ada spending mandatory sebesar 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pendidikan. Hal itu menegaskan bahwa bidang pendidikan harus mendapat prioritas.
“Kalau dilihat dari politik hukum, kebijakan dari Kemendiktisaintek, bahkan pemerintah kita secara umum yang tidak memprioritaskan anggaran pendidikan, ini cukup miris, dan sebenarnya bertentangan dengan undang-undang dasar,” jelasnya.
Seharusnya, lanjut dia, kebijakan dari Kemendiktisaintek berpijak pada tiga hal. Yakni pertama, pada pengembangan akses pendidikan, yang itu juga menjadi bagian dari hak asasi manusia untuk masyarakat luas. Kedua, kesejahteraan guru dan dosen. Serta ketiga, fasilitas pelayanan pendidikan.
“Dan itu adalah amanat konstitusi,” tegasnya.
Ia menegaskan, tukin dosen dari 2020 hingga 2024 yang tidak diberikan, dan hanya dibayarkan untuk tahun 2025 merupakan hal yang mencederai hak dosen.
“Yang seharusnya diberikan sebagai hak dasar dosen, kemudian tidak diberikan, tentu sekali lagi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip pemenuhan dasar dari dosen itu sendiri, dan perlindungan dari Hak aassi manusia,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, ia juga mempertanyakan kenapa ada upaya pendisiplinan dosen atau ASN yang dilarang demo dan hanya boleh menyampaikan aspirasi secara hierarki.
Padahal, kata dia, kebebasan berkumpul dan berserikat telah dijamin dan dilindungi oleh konstitusi, sebagai bagian dari HAM yang juga melekat pada siapa pun.
“Khususnya dosen, di dalam undang-undang guru dan dosen, termasuk pendidikan tinggi, memiliki kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dosen dengan status apapun baik dosen PNS, maupun dosen non PNS memiliki hak yang sama,” tegasnya.
Sehingga menurutnya, suara protes dari demonstrasi merupakan bagian dari hak inheren bagi dosen.
“Siapapun tidak boleh melarang, apalagi menteri dengan alasan yang struktural hierarki, dan ini jauh bertentangan dangan reformasi birokrasi yang selama ini diagung-agungkan oleh pemerintahan kita,” pungkasnya.
Sebelumnya Togar M. Simatupang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) Togar M. Simatupang, Senin (3/2/2025) menegaskan pembayaran tunjangan kinerja (tukin) dosen ASN dalam kurun waktu 2020-2024 tidak bisa dirapel pada tahun ini atau waktu yang akan datang.
Hal ini diungkapkannya dalam menanggapi adanya pemberitaan terkait pembayaran tukin guru dan dosen ASN di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) pada 2021 lalu, dimana pembayaran tukin tersebut merupakan rapelan dari tukin terutang pada periode 2015-2018.
“Kalau di Kemenag, mereka menjalankan proses birokrasi dan dianggarkan, jadi masih bisa dilanjutkan kalau ada kekurangan. Hal yang ceritanya berbeda dengan tukin yang ada di lingkungan Dikti,” kata Togar seperti dilansir Antara.
Togar memaparkan tukin untuk dosen ASN Kemdiktisaintek pada periode 2020-2024 tidak bisa dicairkan sebab pada masa tersebut tukin dosen ASN tak pernah dianggarkan.
Hal ini tidak memenuhi proses birokrasi atau kepatuhan yang lengkap, serta tak dapat diulang akibat tutup buku.
Sebagai gantinya Togar menekankan ajuan tukin bagi dosen ASN pada 2025 ini telah dianggarkan dan disetujui nominalnya sebesar Rp2,5 triliun oleh Badan Anggaran (Banggar) DPR dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.
Terkait perkiraan kapan pembayaran tukin bisa diselesaikan, ia menyebut pihaknya kini sedang dalam proses untuk melakukan pembayaran tukin dosen ASN 2025.(ris/ipg)