
Dr. Elfina Lebrine Sahetapy, S.H., LL.M. pengamat hukum pidana, sekaligus Wakil Dekan 2 Fakultas Hukum Ubaya menanggapi usulan advokat agar RKUHAP mengatur penahanan tersangka baru dilakukan setelah vonis atau ada putusan pengadilan.
Usulan itu disampaikan Maqdir Ismail dalam rapat dengar pendapat DPR Bersama advokat membahas draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
“Memang sistem peradilan pidana di Indonesia, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan memang sudah saatnya untuk diperbarui seiring berlakunya KUHAP baru yang akan berlaku efektif 2 Januari 2026,” katanya, Selasa (11/3/2025) saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya.
Ia setuju kalau KUHAP perlu diperbarui. Terutama jika berkaca pada praktik pasal-pasalnya seringkali ada kesewenang-wenangan tanpa dasar hukum atau alasan yang bisa dibenarkan KUHAP.
“Dalam pasal 21 secara normatif itu kan diterjemahkan salah satu tindakan hukum dalam hal ini penyidik di mana menempatkan seseorang di rutan dengan alasan melarikan diri, merusak dokumen, alat bukti, barang bukti, atau melakukan kejahatan lagi. Intinya penahanan adalah hak subyektif negara untuk membatasi hak bergerak seseorang yang diduga telah melakukan kejahatan,” bebernya.
Misalnya batas penahanan tersangka yang tidak rinci, membuat tersangka ditahan lama sebelum putusan pengadilan dan kehilangan Hak Asasi Manusia (HAM).
“KUHAP tidak mengatur rinci batas penahanan yang sepatutnya terhadap seseorang yang ditetapkan tersangka. Hanya diatur tidak lebih dari 60 hari dalam tahap penyidikan. Nah dampak buruk ini terlepas tidaknya dalam sidang pengadilan adalah terhentinya status tersangka dari pekerjaan, kemudian dampak sosial dialami keluarga padahal belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” jelasnya.
Tapi soal alasan usulan penahanan setelah vonis diberlakukan bagi tersangka tertentu yang dianggap identitasnya jelas seperti tokoh politik, ia tidak setuju. Pada praktiknya, tersangka-tersangka ini yang banyak melakukan pelanggaran dengan melarikan diri ke luar negeri.
“Ini malah membuka celah diskrimiansi seolah-olah orang yang punya jabatan, berduit, enggak perlu ditahan. Faktanya mereka ini lah yang banyak bisa melarikan diri karena punya uang, sehingga bisa sogok sana sini,” imbuhnya.
Kalau usulan itu dikabulkan, alasan yang paling tepat menurutnya mengacu pada dua prinsip. Pertama, prefunction of innocence, maknanya setiap orang akan dianggap tidak bersalah sampai putusan pengadilan.
“(Kedua) bahwa asas praduga tak bersalah ini seseorang dianggap bersalah hingga pengadilan menyatakan tidak bersalah,” tegasnya.
Menurutnya sistem keamanan di Indonesia juga perlu dicermati. Seringkali tersangka yang pindah dari satu kota ke kota lain tak terlacak apparat hukum, karena sistem keamanan yang tidak terintegrasi.
“Kenapa di Belanda tidak ada penahanan, karena mereka menerapkan 2 prinsip itu. Ada budaya patuh hukum, kalau melanggar lebih berat sanksinya. Lalu jaminan uang jumlahnya cukup besar,” tambahnya lagi.
Ia berpendapat mungkin advokat bisa menjadi penjamin tersangka untuk tidak kabur atau melarikan diri. Jika dilanggar, advokat bisa dicabut izin, hingga dituntut pidana dan denda.
Ia berharap perumusan RKUHAP bisa menelusuri hasil penelitian para pakar atau akademisi untuk dijadikan pedoman. Tidak asal mengadopsi KUHAP asing, harus disaring sesuai Pancasila juga kondisi sosial budaya di Indonesia.
“Prinsipnya jangan melakukan penahanan terhadap orang yang belum tentu bersalah. Dan jika tidak bersalah kenapa harus kabur. Itu yang harus jadi paradigma kita. Kalau kabur berarti ada rasa bersalah menghilangkan BB dan sebagainya. Kalau tidak sebenarnya enggak masalah tetap ikuti proses hukum,” tandasnya. (lta/iss)