Kamis, 20 Februari 2025

Koordinator BPJS Watch: Pekerja PKWT yang Jatuh Tempo Juga Harus Dapat Manfaat Program JKP

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi seorang karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: Pexels

Pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kini berhak mendapat manfaat uang tunai sebesar 60 persen dari upah untuk paling lama enam bulan.

Hal tersebut diatur dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025, Perubahan Atas PP 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang diteken Prabowo Subianto Presiden RI 7 Februari lalu.

Dalam pasal tersebut, turut diatur bahwa upah yang menjadi dasar pembayaran manfaat JKP adalah upah terakhir yang dilaporkan pengusaha kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan batas maksimal Rp5 juta. Jika upah pekerja melebihi batas atas upah maka upah yang digunakan sebagai dasar pembayaran manfaat uang tunai adalah sebesar batas atas upah.

Timboel Siregar Koordinator Advokasi BPJS Watch menyambut baik kebijakan baru ini. Menurutnya, kebijakan ini akan meningkatkan kesejahteraan dan daya beli pekerja yang ter-PHK, serta memberi waktu lebih panjang untuk mencari pekerjaan baru.

Apalagi revisi itu dinilainya membawa sejumlah peningkatan manfaat yang signifikan bagi pekerja, termasuk uang tunai 60 persen dari upah yang diterima secara flat selama enam bulan.

“Kalau saya melihat, membandingkan ini ada peningkatan yang cukup signifikan. Pertama, bantuan uang tunai yang tadinya di PP 37 hanya 45 persen dengan maksimal upah Rp5 juta untuk tiga bulan pertama, dan 25 persen untuk tiga bulan berikutnya, sekarang menjadi 60 persen flat maksimal enam bulan. Ini bagus karena bisa mempertahankan daya beli pekerja yang ter-PHK dan keluarganya, supaya mereka bisa hidup layak,” jelas Timboel waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (17/2/2025).

Tak hanya itu, kebijakan terbaru ini juga bisa menaikkan bantuan biaya pelatihan dari Rp1 juta menjadi Rp2,4 juta, memberikan waktu klaim hingga enam bulan, serta memperluas cakupan kepesertaan program JKP.

Meski demikian, dia tetap memberikan catatan terkait kebijakan baru ini. Salah satunya soal sistem kontrak dalam PP Nomor 6 2025 yang sama anehnya dengan PP Nomor 37 tahun 2021, karena pekerja yang kontraknya jatuh tempo selama ini justru tidak mendapat akses manfaat JKP.

Meskipun, pegawai berbasis kontrak atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang kini ditambah jatuh temponya dari tiga tahun menjadi lima tahun.

“Nah, kontrak ini agak aneh nih. Dikasih akses kepesertaan, tapi ketika jatuh tempo dia tidak dapat manfaat. Padahal waktu itu pak Airlangga Hartarto (Menko Perekonomian) menjanjikan PKWT yang jatuh tempo dapat,” bebernya.

Ke depan, koordinator Advokasi BPJS Watch itu berharap agar akses JKP juga diberikan kepada PKWT yang terjatuh tempo. Bukan hanya kepada pekerja yang diputus kontraknya di tengah jalan atau PHK.

“Karena kan, toh dia kan tidak diperpanjang, artinya dia kan tidak memiliki pekerjaan lagi. Konteks PHK itu kan orang yang tadinya kerja, tidak kerja. Nah, jadi kalau dia membayar iuran tapi ketika mau dapat manfaat tidak diberikan, ini kan diskriminasi buat pekerja kontrak,” ungkapnya.

Dia juga menyoroti pekerja formal yang baru terdaftar sekitar 14 juta dalam program JKP. Padahal, menurutnya pekerja swasta formal di Tanah Air jumlahnya bisa mencapai 45 juta pekerja.

Selain itu, dia menyoroti masih banyaknya pengusaha atau perusahaan yang masih belum mendaftarkan pekerjanya dalam jaminan sosial, sehingga pekerja swasta yang terkena PHK tidak bisa mengakses manfaat JKP.

“Nah ini kan menjadi bagian tantangan dari pemerintah, tidak hanya mengeluarkan regulasi yang meningkatkan manfaat, tapi juga memastikan pekerja-pekerja ini didaftarkan oleh pengusahanya sehingga menjadi peserta eligible JKP,” ujar Timboel.

Demikian dengan potensi penyalahgunaan oleh pengusaha mendorong karyawannya untuk resignkan demi menghindari PHK, Timboel mengimbau agar pekerja untuk menolak meski ada iming-iming pesangon.

“Melalui radio ini kami mengimbau jangan resign, tetap buat aja perjanjian bersama supaya dapat akses JKP. (Karena) kalau dia resign, dia nggak dapat (JKP), meskipun dijanjikan dapat pesangon. Buat aja perjanjian bersama, toh akan melindungi pengusaha juga,” ungkapnya.

Justru kata Timboel, lebih bagus jika pengusaha melakukan PHK, asal dengan perjanjian bersama atau keterangan dari dinas terkait, sehingga pekerja bisa ditolong untuk mendapatkan JKP-nya.

Sementara mengenai kesiapan BPJS Ketenagakerjaan dalam mendanai kebijakan ini, Timboel menilai bahwa meskipun ada penurunan iuran untuk program JKP dan penambahan manfaat, BPJS Ketenagakerjaan masih memiliki kondisi finansial yang aman dengan aset kelolaan sebesar Rp14 triliun.

Dia juga menambahkan bahwa meskipun ada kekhawatiran potensi defisit, terutama jika angka PHK terus meningkat, kondisi keuangan BPJS masih cukup kuat untuk mendanai program JKP ini dalam jangka panjang.

“Dengan aset kelolaan Rp14 triliun, menurut saya masih aman. Rasio klaimnya bisa sampai 20 persen, jadi masih sangat aman untuk mengelola JKP,” terang Timboel. (bil/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Listrik Masuk ke Sungai

Awan Lentikulari di Penanggungan Mojokerto

Evakuasi Babi yang Berada di Tol Waru

Pohon Tumbang di Jalan Khairil Anwar

Surabaya
Kamis, 20 Februari 2025
29o
Kurs