
Seto Mulyadi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), menilai sejumlah kasus tindakan asusila yang melibatkan anak hingga remaja sebagai pelaku utama dipicu tekanan yang terlalu berat.
Pernyataan pria yang akrab disapa Kak Seto itu menanggapi kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh siswa SMA di Pinrang, Sulawesi Selatan, terhadap 16 siswa SD sebagai korbannya.
“Karena tekanan yang terlalu berat. Jadi, kadang-kadang tidak dimaknai bahwa anak-anak tumbuh dan berkembang itu bagian dari haknya,” kata Kak Seto melansir Antara, Sabtu (29/3/2025).
Seto menjelaskan bahwa hak anak untuk tumbuh dan berkembang sering kali tidak dimaknai secara serius oleh orang tua.
Selain itu, tekanan pada anak juga timbul jika mereka dibanding-bandingkan dengan anak lain oleh orang tuanya sendiri.
Seto pun menekankan dan mengimbau pada orang tua bahwa semua anak pada dasarnya unik, otentik, dan tidak terbandingkan.
Kalau anak diakui keunikannya, kata Seto, mereka tumbuh dan berkembang lebih sehat dan normal.
Namun di sisi lain, ketika anak penuh dengan tekanan, ia akan respons dalam dua pilihan, yakni fight (melawan) dan flight (pergi atau kabur).
Kedua respons tersebut, kata Seto, memiliki dampak buruk, yakni kekerasan, maupun pelarian pada dunia digital yang memiliki konten pornografi atau kekerasan.
“Artinya melawan, ya bahasakan misalnya lakukan kekerasan, atau ‘flight’, terbang, akhirnya kabur. Kaburnya ke mana? Ke dunia digital yang mengakses informasi pornografi, kekerasan, dan sebagainya,” kata Seto.
Seto menambahkan bahwa dunia digital yang ramah anak pada akhirnya memicu tindakan asusila yang dilakukan anak-anak maupun remaja.
Oleh karena itu, Prabowo Subianto Presiden RI mengesahkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak yang salah satunya mengatur pembatasan penggunaan media sosial (medsos) dan pembatasan akses konten-konten digital untuk anak. (ant/nis/iss)